Keesokan harinya Lyra pergi ke pasar lagi.
Pagi ini setelah matahari terbit, Quentin menemukan wortel-wortel di kebun telah siap panen semua. Menanam wortel memang memakan waktu sedikit lebih lama dari buah dan sayur lainnya, dan beruntungnya semuanya masak dengan tepat waktu. Quentin langsung memanen wortel-wortel itu. Sepertiga dari hasilnya disimpan untuk dirinya dan Lyra, dan semua sisanya dijualkan ke pasar.
Karena ayahnya bangun sedikit lebih pagi dari biasanya, dan langsung memanen, Lyra juga berangkat lebih awal dari biasanya. Jam baru menunjukkan pukul 7.45 ketika ia sudah selesai mandi dan bersiap-siap untuk ke pasar. Sarapan dengan stroberi dan roti panggang cokelat seperti biasa, serta segelas air lemon dingin. Seandainya mereka punya satu bagian tanah kosong lagi untuk ditanami buah lemon.
Perjalanan menuju pasar ramai oleh para penduduk, karena masih pagi. Ibu-ibu masih bersilewaran mengobrol dan tawar-menawar dengan pemilik kios, para pedagang yang terlambat berlari-lari kecil untuk buru-buru membuka stan dan kios mereka. Kereta angkut lewat di hadapan Lyra, membawa tumpukan jerami dan karung-karung.
Beginilah rutinitas desa gadis itu setiap hari.
Lyra menghampiri kios Mr. Darcy. “Bonjour, Mr. Darcy!”
“Hei, Nak.” Mr. Darcy sedang menghisap cerutunya, yang dengan cepat ia matikan sebelum banyak orang lain melihat dirinya merokok di dalam pasar. Ia menepuk-nepuk kedua telapak tangannya. “Apa yang kau punya?”
“Keranjang penuh berisi wortel.” Lyra menaruh keranjangnya di atas meja. Ia membuka selembar kain yang menutupi wortel-wortel itu. “Sangat segar langsung dari kebun kami.”
Mr. Darcy mengintip ke dalam keranjang Lyra. Ia bergumam. “Bagus sekali.” Pria tua itu tersenyum. “Tunggu di sini sebentar, aku akan mengambil uang.”
Di kota, di daerah desa yang banyak ruko dan bangunan, Lyra mampir sejenak untuk melihat lukisan-lukisan yang dijajakan di pematang jalan. Sang pelukis yang memang sudah terkenal di jalan ini, Mr. Pio Vance, sedang melukis seorang gadis muda berambut pirang. Gadis itu duduk tegak dengan dada dibusungkan, pandangan lurus dengan wajah cantiknya yang seperti polesan. Dia mengenakan gaun merah muda berenda dengan rok mengembang. Orang-orang berdiri di sekitarnya menyaksikan Mr. Vance melukis gadis itu. Tampaknya dia salah satu kerabat dari kalangan bangsawan.
Ketika sedang asyik menonton acara pelukisan gadis cantik tersebut, Lyra melihat Fachri muncul dengan sepedanya. Sepeda pemuda itu masuk ke wilayah pasar. Ia menjulurkan lehernya mengamati Fachri dari belakang. Lyra melihat proses pelukisan sekali lagi, sebelum menyusul pemuda itu kembali ke dalam pasar.
Seperti biasa, Fachri menjual botol-botol susu kepada langganan setianya, Miss Marie. Hari ini Miss Marie mengenakan gaun berbahan satin yang cukup ketat di tubuhnya. Rambutnya di-roll dan disanggul ke atas dengan jepitan bunga besar. Lyra melihat wanita itu mengambil uang dari sela-sela korset di bagian dadanya.
Lyra bergidik melihat pemandangan itu.
Karena sekarang Miss Marie dan Fachri sedang bercakap-cakap, Lyra memutuskan untuk mendekat ke posisi berdiri pemuda itu. Sebenarnya ia tidak tahu apa yang dirinya lakukan, hanya ingin berada di dekat Fachri, atau sesederhana agar Fachri memperhatikan sekilas dirinya. Lyra berdiri di depan salah satu kios kue kering, berjarak dua kios dari milik Miss Marie. Sembari mencari kue kering yang ia suka, Lyra mencuri-curi pandang ke sebelahnya. Fachri masih sibuk mengobrol dan tertawa dengan Miss Marie, tampaknya tidak menyadari kehadirannya.
Setelah beberapa lama Lyra berada di kios kue kering tersebut, melangkah ke sana-kemari dan curi-curi pandang ke anak lelaki dari keluarga pemilik lumbung itu, Fachri akhirnya naik ke atas sepeda dan pergi meninggalkan kios Miss Marie. Pemuda itu pergi ke arah berlawanan dengan tempat Lyra berdiri. Gadis itu mendengus. Ia memandangi kepergian Fachri dengan kecut. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya selain membayar kue kering lemon rasa keju yang sudah sejak tadi dipilihnya.
Lyra berjalan-jalan mengelilingi kota dan pasar. Tidak jauh dari lapak lukisan Mr. Vance, terdapat mading desa di mana orang-orang menempel sayembara, pengumuman, brosur, dan sejenisnya. Ada satu poster paling besar di sana, ditulis dengan judul yang tebal dan besar. Festival Panen Tahunan Deanville.
“Seluruh kabinet desa, yang sudah disetujui oleh kepala desa, akan mengadakan Lomba Pameran Kebun Terbaik dan Terindah dalam rangka menyambut Festival Panen Tahunan Deanville...” Lyra membaca pengumuman yang tertera di poster tersebut.
Matanya membulat. Ia langsung mendekat untuk membaca seluruh isinya.
“Pemenang pertama akan mendapatkan plakat, pupuk kandang terbaik, dan uang tunai. Pemenang kedua akan mendapatkan plakat dan pupuk kandang terbaik. Pemenang ketiga akan mendapatkan plakat. Perlu digarisbawahi bahwa semua pemenang akan mendapatkan sebidang tanah seluas 100x80 meter…” gumam Lyra sambil terus membaca.
Kali ini matanya melotot. Ia hampir saja memekik.
Satu bidang tanah?!