Lyra and The Moon

Fann Ardian
Chapter #9

The Room of Beautiful Paintings

“Ah, tidak jadi. Kau saja belum menyelesaikan ceritamu,” tukas Lyra, ia melipat kedua lengannya.   

“Apakah ada lagi yang ingin kau ketahui?” tanya sang Bulan. Terlihat samar-samar kerutan di atas matanya, seperti ia mengerutkan dahi. “Aku sudah menceritakan semuanya.”  

“Belum, belum. Masih ada yang kurang.” Lyra menggeleng-gelengkan kepalanya. “Atau coba kau rangkum ceritamu kemarin malam. Supaya aku lebih paham.” 

“Hm,” gumam sang Bulan. “Aku sudah mencintai sang Matahari dari jauh sejak sangat lama. Aku hanya bisa mencintainya dalam diam. Dia tinggal saat siang hari, dan aku saat malam hari, tidak mungkin kami dapat bersama.”  

“Itu cukup menyedihkan,” Lyra berkomentar pelan. Ia mendongak pada Sang Bulan. “Apa sang Matahari mengetahui keberadaanmu?” 

“Aku meyakini dia pasti mengetahui tentang keberadaanku.”  

“Apakah dia pernah menoleh ke arahmu? Atau, sekedar melirik?” 

“Aku meyakini sang Matahari dapat melakukan itu, namun tidak ada alasan baginya untuk melakukannya.” 

Lyra memundurkan wajahnya. “Kenapa begitu? Siapa tahu jika dia juga mengetahui keberadaanmu, dia juga akan menyukaimu?” 

“Siapakah sebenarnya kini yang sedang kau bicarakan?” 

Suasana di sekitar mereka seketika seperti berhenti. Lyra bungkam sepersekian detik. “Em, ya, tentu saja dirimulah. Dirimu dan sang Matahari,” balasnya acuh tak acuh. 

“Aku sudah memberitahumu mengenai hal itu.” 

“Ya, tapi, tidakkah kau penasaran?” gadis itu bertanya lagi. “Siapa tahu, sang Matahari akhirnya menyadari keberadaanmu dan, siapa tahu juga, bisa jadi menyukaimu? Pernahkah kau memikirkan itu?”  

Sang Bulan memejamkan matanya sebelum menjawab. “Tidakkah kau tahu bahwa sang Matahari sangatlah sibuk? Dia tidak hanya harus bersinar terang saat pagi dan siang hari, tapi juga pada malam hari? Kau bisa melihatku sekarang, karena cahaya yang dipantulkan sang Matahari.” Kata-kata dan nada suara sang Bulan terdengar tenang. “Dia tidak akan punya waktu untuk hal lain, terlebih untuk mencintai.”  

Lyra mengulum bibirnya ke atas. “Tapi bukankah itu berarti dia menyayangi alam semesta ini dan seisinya? Sampai mengorbankan dirinya dan tidak kenal lelah?”  

Kalau sang Bulan memiliki tangan ia pasti sudah menepuk dahinya. “Tidak dengarkah kau ketika aku menceritakan awal mula Langit menciptakan semesta? Sang Matahari, memang diciptakan untuk itu. Tugasnya hanya satu, menyinari seluruh alam.” 

Sekarang Lyra hanya manggut-manggut mendengar penjelasan sang Bulan. 

Lihat selengkapnya