“Kenapa kau selalu mengatakan itu?” tanya Lyra, ia mencondongkan tubuhnya ke arah sang Bulan. Sang Bulan sering sekali mengulang perkataan yang sama, dan lama-kelamaan gadis itu melihatnya sebagai bentuk sifat pesimistis.
“Karena memang begitulah faktanya.”
“Ya, tapi kenapa?” desak Lyra lagi. “Apa alasannya? Kalian tinggal di langit yang sama, kalian juga hidup berdampingan. Apa salahnya untuk bersama?”
Untuk pertama kalinya, sang Bulan menghela napas. “Tidakkah kau mengenal siang dan malam?”
“Ya, aku tahu. Tapi, pada pagi hari setelah fajar, atau saat senja, aku pernah melihat bulan masih berada di langit biru setelah matahari terbit. Kau ada di sana saat pagi hari dan senja.”
“Ketika dalam beberapa waktu yang jarang kau dapat melihat diriku pada pagi hari dan senja, itu hanyalah wujud kedambaan dan harapan terdalamku untuk bisa bersama dan bersatu dengan sang Matahari. Walaupun kau melihatku, namun hanya seperti bentuk kecil di langit dari kejauhan. Karena begitulah, caraku mencintai Sang Matahari.”
Lyra tertegun. Rasanya ia salah menilai sang Bulan, dan mulai memahaminya.
“Pernahkah kau melihat matahari pada malam hari?”
Lyra menggeleng.
“Kini, bisakah kau mulai melihat seluruh gambarnya?”
Lyra mengangguk. Hanya ada satu pihak yang selama ini selalu mencintai, yaitu sang Bulan. Kehadirannya yang jauh saat waktu tertentu pada pagi hari atau senja, adalah caranya mencuri-curi celah untuk melihat sang Matahari lebih dekat. Bersama dalam satu waktu langit.
Sedangkan sang Matahari, tidak pernah merasakan hal yang sama.
“Dan juga,” sang Bulan berkata lagi. “Aku menyayangi dan menghormati bumi dan alam semesta dan segala isinya dengan segenap hati dan hidupku. Aku tidak akan mampu mengorbankan itu semua, demi dapat bersatu, dan membuat sang Matahari menoleh ke arahku.”
“Kau pernah bercerita kau diciptakan untuk menjaga bumi,” kata Lyra.