“Baiklah. Sekarang bagaimana aku melakukannya?”
Siang hari ini tidak seperti biasanya, Lyra naik ke atap dan duduk di tempatnya yang biasa. Sinar matahari bersinar terik di atasnya, membuat dirinya harus menyipitkan mata. Walaupun sudah pukul empat sore sekali pun matahari masih bersinar terang, ditambah langit berwarna biru muda polos tanpa awan. Lyra bahkan hanya mengenakan kemeja tipis dan celana panjang gombrong milik ayahnya.
“Nah. Baiklah.” Sudah hampir lima menit Lyra berkutat dengan kata-kata itu dan mengetuk-ngetuk atap dengan jarinya. Ia menarik napas, mendongak menatap langit. Sang Matahari berada di sana, jauh di atas langit bersinar terang benderang. Sambil menyipitkan mata, Lyra memandanginya untuk beberapa lama. Tetapi sang Matahari tidak menunjukkan tanda-tanda akan berbicara atau menampakkan wajahnya seperti sang Bulan.
“Halo?” sapa Lyra pada sang Matahari. Terdengar ringikan kuda dari gerobak kereta yang ditarik oleh kuda tersebut dan juga roda kayu yang berputar, melaju di jalan yang berada beberapa puluh meter dari rumahnya.
Sang Matahari tidak menjawab apapun. Dia tetap seperti matahari.
“Apa dia tidak bisa mendengarku?” Lyra bergumam. Baru saja Lyra akan membuka mulut lagi, terdengar pintu gudang tempat peralatan berkebun ayahnya mengayun terbuka lalu terbanting tertutup. Alat-alat berkebun itu bergesekan dan saling membentur saat Quentin membawanya.
“Halo, namaku Lyra.” Gadis itu mencoba lagi, ia tersenyum kepada sang Matahari. Lyra melambaikan tangannya. “Aku tahu tentang dirimu dari sang Bulan. Apa kau bisa mendengarku?”
Sang surya tidak menjawab, sinar di sekelilingnya tetap berpendar-pendar.
Bahu Lyra menjadi turun. “Ah, aku tidak ahli dalam hal ini,” keluhnya. Ia meluruskan kedua kaki. “Satu-satunya alasan kenapa aku bisa berbicara dengan sang Bulan adalah karena dia menyapaku duluan. Mana mungkin aku tahu benda-benda langit dapat bicara, apalagi mengajak mereka berbicara.” Ia menengadahkan wajahnya ke atas.
Kini, sang Matahari menyirami wajah Lyra dengan sinarnya yang lembut.
“Sang Bulan memberitahuku aku hanya perlu menyapanya,” kata Lyra pada dirinya sendiri sembari menatap sang Matahari. “Tapi dia tidak terlihat seperti bisa disapa, dia terlihat layaknya matahari pada umumnya.”
Beberapa saat kemudian Lyra menegakkan punggungnya. “Halo, sang Matahari. Aku—"
“Lyra, apa yang sedang kau lakukan di atas sana?”
Gadis itu menoleh ke bawah, dan melihat Quentin berdiri di pinggir kebun sambil memerhatikannya.
“Kulitmu hanya akan menjadi gosong kalau kau duduk di atas sana sekarang. Seharusnya, kalau kau ingin berjemur lebih baik sekitar dari pukul 8 sampai pukul 10 pagi,” ujar Quentin. Ia membungkuk untuk mengambil pupuk dari dalam kantung rotan.
Ayahnya malah mengira ia sedang berjemur. Lyra kembali mengalihkan pandangannya pada sang Matahari. “Sepertinya akan sulit mengajakmu bicara.”
Seorang lelaki yang sedang mengendarai sepeda dengan dua keranjang besar berisi anak-anak ayam oleng sedikit ketika menuruni bukit, membuat salah satu keranjangnya terjatuh berguling-guling dan membuat anak-anak ayamnya lepas ke mana-mana.
“Oh! Apa kau tidak apa-apa?” tanya Quentin sambil berlari menghampiri lelaki itu. Ia berseru pada Lyra. “Lyra! Cepat. Bantu aku.”
Lyra mengalihkan pandangannya kembali pada sang Matahari dari anak-anak ayam itu. Ia tersenyum seperti mengatakan, “Seperti yang kubilang.”
***