“Jadi apa yang kita punya sekarang, Li?”
Ali menuliskan petunjuk baru dari pembunuh yang sedang mereka kejar selama beberapa waktu ini, di papan petunjuk. “M, A, T. Pembunuh itu meninggalkan tiga petunjuk: tiga huruf itu dengan memakai cat merah yang sama.”
Tuk, tuk!
“Kira-kira pembunuh kita itu ingin memberi petunjuk apa pada kita? Mat … Matematika? Mata? Mati? Matriks? Matoa? Apa lagi??” Damar duduk dengan tangan bersidekap dan berusaha berpikir sembari membayangkan dirinya sebagai pelaku. Damar berusaha mencari tahu apa yang diinginkan oleh pembunuh itu dan tujuannya melakukan semua pembunuh itu. Tapi lagi-lagi Damar menggelengkan kepalanya karena frustasi tak bisa menemukan apa yang dicarinya. “Mat … apa lagi?? Cih!! Aku enggak bisa mikir yang lainnya!!”
“Pak?” tanya Ali.
Buk!
Mendadak Damar membuka tangannya dan satu tangannya memukul meja di depannya. Buk! “Aku enggak habis pikir! Pembunuh kita ini sudah bunuh tiga orang tapi enggak ada bukti yang tertinggal dan hanya petunjuk itulah yang ditinggalkan! Buruanku kali ini sepertinya orang yang pintar sekali!”
“Kita enggak bisa menyerah di sini, Pak.” Ali berusaha untuk memberikan semangat pada Damar yang telah kehilangan semangatnya beberapa kali karena kasus ini.
Ali yang tahu bahwa Damar sedang dalam masa frustasi berulang kali berusaha untuk membantu Damar agar tidak jatuh dalam frustasinya. Sebagai asistennya, Ali sudah bekerja keras berusaha menemukan bukti yang lain yang akan membawanya pada pelaku pembunuhan yang membunuh Dani, Aji dan Bayu. Tapi sayangnya sama seperti ucapan Damar, jejak pelaku sama sekali tidak ditemukan.
Baik bukti yang tertinggal hingga rekaman beberapa kamera CCTV, tidak ada satupun yang mengarah pada pelaku seolah pelaku benar-benar hafal dengan baik jangkauan kamera, titik buta kamera dan bukti penyelidikan kepolisian yang akan mengantarkan polisi padanya.
Apa ada orang sehebat itu? Ali pernah menanyakan pertanyaan itu dalam benaknya dan satu-satunya jawaban yang cocok dengan pertanyaan itu adalah pelaku adalah orang yang tahu dengan baik cara kerja polisi, entah itu memang polisi itu sendiri, entah itu mantan polisi atau orang yang berhubungan dengan kepolisian.
Damar-atasan Ali juga pernah memikirkan opsi itu. Tapi sekali lagi, buktinya kurang dan jumlah polisi, mantan polisi dan orang yang berhubungan dengan kepolisian, juga terlalu banyak.
“Li, ayo makan! Aku lapar!”
Damar yang sudah kehabisan akal untuk menyelidiki kasus pembunuhan Dani, Aji dan Bayu, akhirnya memilih untuk mengistirahatkan otaknya dan mengisi perutnya.
“Ya, Pak. Kebetulan, saya juga lapar.” Ali mengangguk setuju.
Damar bangkit dari kursi dan langsung merangkul bahu Ali yang juga bangkit dari kursinya begitu mendengar ajakannya. “Mau makan apa, Li?”
“Bapak mau makan apa?” Ali balik bertanya.
Ali hafal betul pertanyaan Damar itu. Meski Damar bertanya Ali ingin makan apa, pada akhirnya Damar akan menolak usulan itu jika tidak sesuai dengan keinginannya dan menggantinya dengan usulan darinya. Jadi dari pada harus berdebat dan menelan rasa kesal, Ali yang sudah biasa dengan kebiasaan Damar itu, lebih memilih untuk balik bertanya pada Damar.
“Aku mau makan yang pedas-pedas. Kepala dan otakku butuh stimulasi. Bakso atau mie ayam, kayaknya enak.”
“Kalo gitu saya ikut saja, Pak.”