Di malam saat hujan deras, seorang pria berjalan di pinggir jalanan. Tanpa payung dan tanpa pelindung diri yang melindunginya dari hujan turun, pria itu terus berjalan di tengah hujan deras yang mengguyur.
“Se-dikit lagi.”
Pria itu memaksa kakinya untuk berjalan lebih lama lagi ketika kakinya sudah sangat lelah berjalan. Malam itu, hujannya mengguyur dengan sangat deras. Tadinya … pria itu berniat untuk menumpang pada truk ataupun mobil yang lewat di jalanan. Tapi mungkin karena hujan yang turun dengan sangat deras, sejak tadi tak satupun mobil lewat. Pria itu tak punya pilihan lain selain terus memaksa kakinya yang sangat lelah untuk terus berjalan.
“Se-dikit lagi, sedikit lagi.”
Pria itu terus menggumamkan kata itu berulang kali sebagai kata ajaibnya untuk memaksa tubuhnya terutama kakinya yang sangat lelah untuk terus berjalan.
Benar saja, setelah setengah jam berjalan dan nyaris saja menyerah karena kakinya yang lelah dan tubuhnya yang menggigil karena dinginnya malam yang bercampur dengan hujan, pria itu tersenyum melihat secercah harapan.
Tidak jauh dari tempat pria itu berjalan, ada papan jalan yang bertuliskan kota XX berjarak lima ratus meter lagi.
“Se-dikit lagi.”
Pria itu menggumamkan kata ajaibnya itu lagi sembari menggoosokkan dua tangannya untuk membuat tubuhnya menjadi lebih hangat. Usaha kecilnya itu sebenarnya adalah usaha yang tidak berguna, tapi apa boleh buat pria itu tidak punya pilihan lain selain melakukan itu.
Setelah berhasil berjalan sejauh lima ratus meter, pria itu kini sudah berdiri di dekat tanda pintu masuk kota XX. Pria itu menepi sejenak di pintu itu, untuk berteduh dan menghangat diri.
Hujan masih turun dengan derasnya dan jalanan masih sepi seperti sebelumnya. Buruknya lagi, tubuh pria itu mulai menggigil dengan kulitnya yang memulai memucat dan keriput, pertanda bahwa tubuhnya tak lagi sanggup menerjang dinginnya malam bercampur dengan hujan.
Berkat lampu yang ada di dekat tanda masuk kota XX, pria itu menemukan pohon pisang besar tidak jauh dari tempatnya berteduh. Pria itu memetik daun pisang paling besar yang ada di sana dan menggunakannya sebagai pengganti payung untuk melanjutkan perjalanannya lagi.
Tin, tin!!!
Setelah berjalan sejauh lima ratus meter lagi, mendadak dari arah belakang ada mobil yang membunyikan klaksonnya ke arah pria itu. Sorot lampu dari mobil itu membuat pria itu tidak bisa melihat dengan jelas pengemudi mobil itu. Untungnya pengemudi itu menyadari hal itu dan menjalankan sedikit mobil itu agar bagian kaca depannya sejajar dengan pria itu.
Sret. Kaca mobil di sisi penumpang terbuka dan pria itu melihat pengemudi mobil yang menegurnya.
“Pak mau ke mana? Hujannya deras sekali ini, Pak! Biar saya kasih tumpangan, Pak.”
“Saya mau ke rumah saudara saya, Pak. Saya kehabisan ongkos jadi saya diturunkan di pinggir jalan di perbatasan tadi.” Pria itu membuat kebohongan seadanya.
Pria itu jelas tidak bisa mengatakan alasannya berjalan di bawah hujan deras di malam hari di pinggiran kota XX.
“Walah Pak. Ayo naik, Pak. Saya antar, Pak. Nanti Bapak bisa sakit kalo hujan-hujanan begini.”
Mendengar tawaran itu, pria itu tentu saja merasa senang. Bagaimana tidak, tubuhnya sudah menggigil, kulitnya sudah kelihatan pucat dan tangannya mengeriput karena terus diguyur hujan. Tawaran itu seperti sebuah keberuntungan bagi pria itu.
“Saya beneran boleh numpang, Pak?”
“Ya, Pak. Enggak papa.”
“Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak.” Pria itu menatap pria yang memberinya tawaran. Pria itu menduga pria yang memberinya tawaran itu adalah pria dipertengahan umur 50 tahunan. Wajah pria penolongnya itu kelihatannya ramah sekali. Jadi pria itu … menerima tawaran itu tanpa ragu. “Saya harus duduk di mana, Pak?”
“Di belakang, Pak. Maaf Pak, dua teman saya sedang tidur. Jadi kalo bisa, Bapak jangan bangunkan!”