Ada hal-hal yang paling aku hindari dalam hidup. Salah satunya adalah perseteruan yang tidak memiliki alasan. Bahkan jika kutilik masa laluku yang suram itu, aku hanya melakukan perkelahian untuk mempertahankan diri. Dan itu cukup sekali untuk pembelajaran, bahwa memiliki masalah dengan orang lain merusak separuh ketenangan bagaimanapun caraku mengabaikan itu.
Semasa sekolah menengah pertama, aku pernah menghadapi sekelompok anak yang suka merundung di sekolah. Mereka tak hanya merundungku, tapi juga beberapa temanku yang terlihat lemah. Aku tak akan pernah lupa itu, saat buku matematikaku dibakar mereka hanya perkara aku tak mau memberikan contekan. Sialnya lagi guru sekolah tak pernah percaya padaku, dan murid kelas yang tahu kejadiannya tidak mau mengambil resiko sebagai korban rundungan berikutnya oleh kelompok perundung itu.
Aku marah, bersitegang dengan guru mata pelajaran matematika. Mungkin itu pertama kalinya aku melakukan konfrontasi, bukan sebab aku dirundung saja, tapi sebab seorang dewasa yang aku sebut guru malah memojokkanku dan mengatakan bahwa itu akal-akalanku saja. Jika mengingat itu, ternyata memang lebih banyak guru yang meninggalkan kesan buruk dalam kenanganku.
Sejak itu aku berjanji akan membalas si perundung hingga mereka mengakui kesalahan mereka kepada guru matematika tersebut.
Saat itu aku masih kelas dua, berumur tiga belas tahun. Sedang yang kuhadapi adalah orang dewasa yang seharusnya mengayomi dan sekelompok murid pembuat onar yang berani bertingkah karena tahu orang tuanya berpengaruh.
Aku mulai menyusun strategi perang hari itu. Sungguh jika harus mengakui, mungkin itu adalah buah amarah dari perasaan yang kupendam bertahun-tahun. Bagaimana aku harus menghadapi kenyataan hidup akhirnya memiliki wadah untuk melampiaskan.
Hal pertama yang kulakukan adalah mengumpulkan bala tentara, aku mulai merekrut diam-diam korban perundungan kelompok tersebut dengan iming-iming aku akan membantu mereka untuk mata pelajaran yang mereka kesusahan di dalamnya. Tentu saja banyak yang menolak, ada yang menolak karena tak mau berurusan ada juga yang menolak karena merasa penawaranku tidak menggiurkan. Ya, tidak semua pelajar suka dengan belajar, ini miris tapi terjadi di banyak sekolah yang aku rasa hingga sekarang juga masih terjadi.
Mungkin karena korban perundungan mereka cukup masif, ini termasuk yang dirundung secara lisan dan dipermalukan di tempat umum, aku mendapatkan delapan orang untuk beraliansi, mereka datang dari kelas yang berbeda.
Orang pertama bernama Abi, aku lupa nama lengkapnya, ia adalah orang pertama yang aku ajak karena aku mencium bau perlawanan yang tampak dalam sorot matanya. Dia dirundung dalam bentuk disuruh-suruh membelikan semua kebutuhan sekelompok orang itu. Istilah gaulnya dia dijadikan kacung oleh mereka. Saat aku mengajaknya, ia dengan cepat mengangguk, mungkin dendam di hatinya terlalu besar untuk ditahan lebih lama.
Aku dan Abi mulai gencar mencari orang yang bersedia berkonfrontasi dengan kelompok perundung, menyusun rencana, dan membuat kemungkinan buruk yang terjadi. Hal pertama yang kami lakukan adalah membuat surat terbuka kepada kepala sekolah yang ditandatangani delapan orang murid yang salah satunya adalah aku. Kami juga menjabarkan hal-hal apa saja yang sudah mereka lakukan terhadap kami dan juga mereka lakukan terhadap murid lain. Ini adalah idenya Abi yang aku tahu belakangan pecinta komik aksi. Jujur saja dibanding balas dendam pada akhirnya kami bersenang-senang karena rasanya itu menggairahkan.
Aku lupa bagaimana tepatnya, tapi hari itu tujuh siswa perundung yang sebagian besar ada di kelasku dipanggil kepala sekolah, aku pikir kami yang menulis surat juga akan dipanggil. Maka aku dan Abi sudah siap-siap berdebat dan menunjukkan bukti, tapi ternyata itu tak terjadi. Mereka hanya mendapat peringatan lisan, dan tak lebih. Mungkin karena sudah tahu bahwa biang yang melaporkan mereka adalah aku, sekelompok perundung itu langsung beraksi begitu jam istirahat. Mungkin yang tak mereka perkirakan, juga aku perkirakan adalah, aliansiku sudah membawa banyak orang yang pernah jadi korban untuk membelaku.
Itu adalah salah satu hari bersejarah yang tak akan pernah bisa aku lupakan, saat aku yang sudah memiliki dendam ini maju menerjang laki-laki si ketua geng mereka dengan kesetanan. Dan sekolah kami ricuh olehnya. Kericuhan yang akhirnya membuka tabir tentang perundungan, hingga melibatkan orang tua murid yang baru kutahu jika masih banyak murid yang juga datang dari keluarga yang memiliki kuasa namun menjadi korban perundungan.
Aku tetap diskors, juga Abi dan tujuh orang kelompok geng tersebut. Bagaimanapun memang akulah yang menerjang lebih dulu, namun aku tak pernah menyesali kejadian itu. Aksi itu justru dianggap heroik oleh teman-temanku, tiba-tiba rasanya aku menjadi pusat perhatian setelah menyelesaikan masa skorsing. Setelah itu kendati aku tinggal di kota kecil, kisah itu menyebar dengan cepat, dengan berbagai versi cerita, ada yang baik dan tentu ada yang buruk.
Saat itulah akhirnya aku tahu, bahwa aku tak ingin berurusan lagi dengan orang lain dalam bentuk seteru. Akibat yang ditimbulkan, rumor yang beredar, apa kata orang yang ditilik dari bagaimana aku tumbuh menjadi hal-hal tidak menyenangkan yang aku dengar. Aku tak suka sorotan itu, tidak menikmati bagaimana mereka menatapku dengan kagum sekaligus sinis. Rasanya aku lebih menikmati hari-hariku di mana tak ada satupun orang yang membicarakan siapa aku dan bagaimana latar belakangku. Sejak itu sebisa mungkin aku berada di jalur sendiri, dan hanya mendebat seseorang dari pikiran saja.