“Ngapain?” Oseano menatapku nyalang, mungkin berharap tatapannya bisa membuatku terbunuh. Yang kuakui itu cukup mengintimidasi dan membuat tidak nyaman.
“Sejak kapan aku jadi musuh kamu?” tapi aku menolak terintimidasi, jadi tak ada alasan membiarkan Oseano membuatku merasa tidak nyaman.
Oseano mendengus, menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Aku nggak paham apa yang lagi kamu bicarakan, tapi sebaiknya minggir karena aku malas berurusan sama orang-orang nepotisme.”
“Jadi ini benaran karena proyek bu Mirda, waw!”
Oseano mendengus, mendorong bahuku pelan dengan buku di tangannya untuk bergeser.
“Kamu bisa ambil kalau kamu mampu.” Aku tak berencana mengkonfrontasinya hari ini. Kami kebetulan berpapasan di depan perpustakaan, aku tebak ia baru saja meminjam buku untuk kepentingan artikel ilmiah yang ia ajukan. Sedangkan aku baru saja datang, rencana yang sama hanya saja aku baru ingin mencari referensi untuk topik yang ingin aku bahas.
Oseano yang masih selangkah berjalan, berhenti tepat dihadapanku. Ia berbalik menapatku dengan wajah meremehkan. “Aku bisa ambil kalau aku mau.” Lalu mengatakan itu dengan penekanan.
Aku semakin tidak mengerti, bahkan setelah pradugaku benar. Kenapa Oseano harus menyimpan amarah, maksudku aku tahu ia mampu jika mau, hanya saja aku sudah memastikan ini kepada teman-teman lain tidak hanya Ditra, jika Oseano ingin mengambil penelitian mitigasi pesisir atau jika berubah dari itu ia akan mengambil topik pencemaran lingkungan. Ayolah, itu cukup jauh dengan proyek analisa keragaman spesies yang dikerjakan Bu Mirdasari.
Aku menatap punggungnya yang menghilang di tangga, ada rasa kesal dan juga penasaran yang tiba-tiba merasukiku. Rasanya aku ingin mengkonfrontasinya dengan bar-bar agar apapun yang menjadi alasannya menatapku penuh kebencian belakangan ini, bisa keluar dengan jelas dari mulutnya. Meski sebenarnya aku juga tidak tahu akan bersikap seperti apa jika ia sudah bicara dengan blak-blakan kepadaku. Barangkali aku akan menjelaskan dengan sedamai mungkin, lagipula ini bukan salahku, aku dipilih bukan mengajukan diri tanpa seleksi.
Begini ceritanya, tiga bulan yang lalu saat kalah memperebutkan mata kuliah Biomonitoring, yang entah sejak kapan peminatnya melonjak, aku mau tak mau beralih mata kuliah dengan kursi tersisa. Aku mengambil mata kuliah Bioprospeksi Kelautan yang koordinator dosen pengampu untuk mata kuliah itu adalah bu Mirdasari. Dengan rekam jejak selama aku berkuliah dengan beliau sebagai dosen pengampu, secara otomatis di antara dua belas mahasiswa aku menjadi koordinator untuk mata kuliah tersebut.
Sejujurnya itu bukan kali pertama aku menjadi koordinator mata kuliah beliau, aku juga terpilih di semester lalu sebagai salah satu asisten praktikum mikrobiologi. Beliau sering meminta bantuanku untuk hal-hal sederhana, seperti menyiapkan bahan penelitian beliau, mencari beberapa jurnal yang cocok sebagai referensi atau hal paling ringan adalah mengumpulkan tugas mahasiswa yang beliau ampuh meski bukan aku kormatnya.
Aku sering mengikuti kegiatan akademik dan secara kebetulan bidang yang aku tertarik di dalamnya adalah bidang yang menjadi keahlian bu Mirdasari, jadi hubunganku dengan beliau memiliki kedekatan tersendiri meski ya beberapa dosen tetap mengenalku dengan baik terkhusus dosen yang suka sekali berdiskusi di kelas.