Akhir pekan bukanlah waktu untuk bermalas-malasan bagi Yuri. Kedai Jjangmyeon tempatnya bekerja memang buka lebih siang dibanding biasanya, tapi bukan berarti ia bisa bangun siang dan membiarkan rancang kesayangan memeluknya erat. Pukul enam Yuri sudah bangun dan membantu ibunya membereskan rumah, memasak dan menyiram tanaman hias kesayangan ayahnya.
"Yuri-ya, semalam ibu nemonton Jungkook di acara musik. Wah, dia sudah berubah menjadi pria dewasa yang tampan," pekik Nyonya Song sambil memotong paprika, pagi ini Tuan Song sedang ingin dimasakkan Japchae.
Yuri menghela nafas kesal lalu dengar celotehan sang ibu yang menurutnya tidak penting itu. Apa manfaatnya mengagumi idola yang bahkan mungkin tidak peduli dengan kita. Membuang waktu dan tenaga saja, pikir Yuri.
Hentakan pisau Yuri yang sedang memotong daging sapi semakin keras tat kala sang ibu justru malah menyanyikan lagu milik boygroup yang sedang mendunia itu.
"Ibu, bisakah kau diam? Kau menganggu konsentrasiku memotong daging ini," sentak Yuri.
"Anak durhaka! Apa kau baru saja membentak ibu? Lagipula memotong daging saja perlu konsentrasi," sentak Nyonya Song balik pada putri semata-wayangnya.
"Tentu saja perlu. Bagaimana jika jariku ikut terpotong? Lagipula, bu, ingatlah umur! Mana ada wanita seusia ibu menggilai idol seperti mereka."
Yuri tidak habis pikir pada orang-orang yang menggilai para idol. Terkadang mereka seperti orang kehilangan akal. Bahkan rela merogoh kocek sangat dalam hanya untuk bisa menghadiri konser dan mengikuri fanmeeting. Seperti teman-teman kuliah Yuri dahulu. For your information, Song Yuri adalah seorang sarjana. Tapi mengapa ia hanya bekerja di kedai Jjangmyeon yang gajinya tak seberapa?
"Ibu pikir medapatkan pekerjaan itu mudah meski aku seorang sarjana? Bisa bekerja di kedai milik Soobin saja aku sudah bersyukur, bu," jawab Yuri saat sang ibu selalu mengomelinya agar ia mencari pekerjaan yang lebih baik sesuai dengan ijazahnya.
Bukannya Yuri tak berusaha atau hanya pasrah pada takdir, gadis itu sudah puluhan kali mengirim lamaran kerja ke seluruh perusahaan besar di Korea. Tapi hasilnya selalu nihil. Akhirnya ia menerima saja tawaran pekerjaan dari Soobin 2 tahun lalu.
"YURI-YAAA!" teriakan sang ibu membuat Yuri tersadar akan lamunannya yang sedang meratapi nasib.
"Ibu, kenapa harus berteriak?" omel Yuri.
"Dari tadi ibu bertanya padamu tapi kau hanya melamun seperti orang idiot."
"Memangnya ibu bertanya apa?" tanya Yuri malas sambil menuangkan potongan daging sapi ke dalam panci.
"Bagimana jika kau ke Seoul dan meminta pekerjaan pada Jungkook? Menjadi asistennya lebih baik dibanding menjadi pramusaji di kedai Jjangmeyon."
Usul gila ibunya sukses membuat kedua mata bambi milik Yuri membola. Ide gila dari mana itu? Nafas Yuri tersengal hanya memikirkan usulan ibunya itu. Menjadi asisten Jeon Jungkook? Yang benar saja?
Yuri tidak ingin masa jahiliyahnya terulang kemabali. Masa dimana ia selalu menjadi pesuruh alias kacung dari Jeon Jungkook. Mengerjakan PR, memijiti kaki lelaki itu, membelikan jajan, menyuapi Jungkook yang sedang bermain bahkan membawakan tasnya ketika di sekolah.
"Jeon Jungkook keparat!" umpatan itu yang selalu keluar dari mulut Yuri ketika ia mengingat nama Jeon Jungkook, si anak manja yang sekarang sudah menjadi idol terkenal.
"Apa ibu gila? Tidak. Aku tidak mau menjadi kacungnya lagi seperti dulu."
PUG!
"Aigooooooo!" teriak Yuri kesakitan karena Nyonya Song baru saja memukul kepalanya dengan spatula.