Yuri menghempaskan diri di kasur minimalisnya. Pekerjaan hari ini cukup menguras energi dan emosi. Apalagi, seharian ini Soobin banyak marah-marah tidak jelas. Membuat Yuri ingin sekali mencekik bosanya sendiri.
"Jika aku tidak ingat dia adalah bosku, sudah kutendang bokongnya," geram Yuri.
Bayangkan saja, sudah puluhan kali Soobin membentaknya dengan alasan yang tidak jelas dan bahkan karena kesalahan yang tak diperbuatnya. Seperti tadi saat Yuri salah membawakan pesanan, seharusnya pesanan lansia itu tidak memakai irisan bawang bombai. Tapi Yuri salah membawakan.
Sebenarnya itu bukan salah Yuri, tapi Soobin-lah yang salah memasaknya. Karena sudah jelas di catatan milik Yuri, ada nama pemesan dan jumlah dan detail pesanannya. Tapi tetap saja, sebagai bawahan, Yuri pasrah saja disalah-salahkan.
"YURI-YAAAAAAAA!" teriakan Nyonya Song dari lantai satu rumah itu membuat Yuri mengurungkan niat untuk memejamkan mata. Gadis itu menggerutu habis-habisan. Jika begini, ibunya hanya semakin memburuk saja.
"Kenapa harus berteriak, bu? Pelan-pelan kan bisa," ujar Yuri sambil menuruni tangga. Gadis itu menghampiri ibunya yang sedang sibuk di meja makan, sedangkan sang ayah sedang membaca surat kabar yang datang tadi pagi, di ruang tengah.
"Ibumu sudah terbiasa berteriak seperti di hutan," celetuk Tuan Song.
"Anakmu ini jika tidak diteriaki tidak akan dengar. Telinganya disumpali batu sepertinya," balas Nyonya Song.
"Cepatlah, bu. Ada apa ibu memanggilku? Bukankah sudah kukatakan aku tidak ingin makan malam dan ingin langsung tidur saja."
"Ibu tidak menyuruhmu turun untuk makan malam. Lagi pula jatah makan malammu sudah ibu coret malam ini," ketus Nyonya Song. Wanita paruh baya itu sedang menuang sesuatu ke dalam sebuah panci berukuran sedang. Dari aromanya, Yuri menebak itu adalah Dwaeji Gukbap.
"Antarkan ini ke rumah Keluarga Jeon!" perintah Nyonya Song.
Yuri mendengus sebal. Ia sudah sangat lelah dan ingin istirahat. Jika ia pergi ke rumah Keluarga Jeon untuk mengantar makanan itu, artinya jam istirahat Yuri akan mundur sekitar satu jam. Karena Nyonya Jeon tidak akan membiarkan Yuri pulang cepat. Ia tidak mengerti mengapa wanita itu senang sekali berlama-lama dengannya dan berceloteh hal-hal tidak penting seperti, "kau tahu Yuri, kemarin Jungkook baru saja terpeleset di kamar mandi dorm-nya? dia menangis semalaman karena kakinya terkilir."
Dasar Jeon Jungkook yang manja!
"Yuri-yaaaaaaaa, kenapa kau malah melamun? Ibu rasa kau terlalu lama melajang sehingga banyak melamun begini. Makanya cari kekasih sana!"
Yuri mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya. Ia gemas dengan ibunya sendiri yang selalu saja mengeluarkan kata-kata pedas.
"Ibu pikir cari kekasih itu mudah?"
"Yuri-yaaaaa, kenapa dulu kau tak berpacaran saja dengan Jungkook? Jika kau berpacaran dengannya kan kau sudah hidup enak sekarang menjadi pacar seorang idola terkenal sepertinya," bisik Nyonya Song yang spontan membuat tubuh Yuri menegang.
"Ibu bicara apa?"
"Sekarang, mana mau Jungkook dengan gadis sepertimu? Berdandan saja tidak bisa. Dulu kau terlalu jual mahal padanya. Ibu tahu, dulu Jungkook menyukaimu. Makanya dia selalu menempel terus padamu. Dulu, kalian berdua sudah seperti hidung dan upil."
Apa katanya? Hidung dan upil? Mengapa perumpamaannya semenjijikkan itu? Lalu Jungkook yang menjadi hidungnya dan Yuri upilnya, begitu?
Nyonya Song hanya tidak tahu saja, dulu Jungkook selalu menempel pada Yuri karena bocah manja itu tidak bisa apa-apa tanpa Yuri, Yuri hanya menjadi pesuruhnya. Bukan karena Jungkook menyukai Yuri.