7 tahun kemudian
Musim kemarau tahun ini sangat panas, lebih panas dan kering daripada tahun-tahun sebelumnya. Kondisi pertanian, tentu saja, sangat buruk. Tidak banyak yang bisa ditawarkan tahun ini, tapi orang-orang dari kerajaan barat itu tetap tidak berhenti menyita hasil pertanian setiap bulannya dan tidak banyak yang mereka sisakan pada rakyat Bhumi Malaya. Banyak pedagang yang kesusahan saat ini, terutama di pasar, orang-orang yang menawarkan jualannya banyak yang mengeluh.
Di sisi lain, hari ini tidak seperti biasanya orang-orang menjadi cukup heboh dan berkumpul di sekitar tepian dermaga pelabuhan dekat pasar. Mereka saling berdesak-desakan meskipun temperatur saat itu tinggi. Beberapa di antara mereka ada yang berusaha memaksa untuk pergi ke depan barisan, dan beberapa ada yang menjijit, semua agar bisa mendapatkan penglihatan yang lebih baik tentang apa yang sedang terjadi.
Apa yang ada di dermaga saat itu adalah barisan orang-orang dari Mahligai Rawi Timur dengan Sultan Awalludin Syah memimpin di depan. Sultan bersama pengawal-pengawalnya yang berkunjung dan melihat kondisi pasar serta pelabuhan bukan hal yang tidak biasa, meskipun hanya sekali dalam dua bulan. Tapi Sultan, bersama pengawalnya mengunjungi pasar dengan arak-arakan, berdiri di tepian dermaga menunggu sebuah kapal besar dan mewah mendekat, sangat jarang terjadi. Tapi para rakyat tahu, bahwa Sultan sedang menerima kedatangan tamu kerajaan dari luar. Ada beberapa kerajaan yang pernah berkunjung ke Bhumi Malaya, seperti kerajaan-kerajaan dari barat dan timur tengah, kalau dari negeri tetangga biasanya yang datang adalah bangsawan dari negeri Klamantan atau negeri saudara lainnya, sementara kalau dari dalam negeri sendiri yang sering berkunjung ─ karena lokasinya bersebelahan ─ adalah bangsawan dari Raya.
Orang-orang yang berada di sana menganalisis dari mana datangnya mereka dengan melihat kapal yang semakin mendekat ke pelabuhan itu. Kapal yang besar dan megah, jelas milik bangsawan. Warna kapal tersebut merah bata dengan ukiran bewarna emas, dikombinasikan dengan warna hijau dan putih gading yang diberikan ukiran tanaman merambat. Selain putih gading, sebagian badan kapal diberi cat warna emas dengan corak bunga warna-warni yang mencolok. Yang paling mencolok dan tentunya lebih menarik perhatian penduduk sekitar adalah tiang-tiangnya yang bewarna merah bata, mengikat tali dari layar kapal yang memiliki lambang naga putih.
“Keluarga Long! Keluarga Long!” seru salah seorang pria berperawakan timur, menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.
“Tidak mungkin! Itu Keluarga Long! Mimpi apa aku bisa melihat mereka langsung?!” sambung yang lain. Seruan-seruan itu kemudian dilanjutkan oleh pedagang-pedagang dari timur. Suara decakan dan helaan kagum terdengar jelas di antara kerumunan.
Keluarga Long adalah keluarga yang memimpin Kekaisaran Long di timur. Mereka adalah kerajaan yang kaya akan budaya dan ilmu pengetahuan. Terkenal akan produksi perkebunan, sandang, dan emas. Dikabarkan teknologi mereka juga semakin berkembang, serta ilmu medis mereka cukup maju. Kekaisaran Long sudah memulai hubungan bilateral dengan Bhumi Malayu baru selama 20 tahun. Banyak pedagang yang datang ke Bhumi Malayu dan bangsawan yang pergi ke Kekaisaran Long untuk belajar, sebanyak orang-orang yang pergi belajar ke barat.
Di antara kerumunan tersebut, seorang wanita yang terlihat berusia di awal tiga puluh tahun terkejut, “Gawat!” gumamnya. Ia langsung berlari melewati kerumunan, kain roknya yang panjang membatasi lebar langkah kakinya, tangan kanannya memegang tas rotan berisi belanjaan, sementara tangan kirinya memegang selendang yang menutupi kepalanya agar tidak terbang.
Meski kesusahan, ia akhirnya berhasil berlari hingga Rawi Timur. Ia masuk ke istana lewat pintu belakang, berlari ke dapur dan meletak tas belanjaannya di atas meja, “Tolong jangan dipindahkan!” pintanya. Ia lanjut berlari hingga ke halaman samping istana, menghela nafas panjang setelah berlari dan lega karena orang yang dia sedang cari berada di sana, seperti biasanya. Orang itu sedang membelakanginya, fokus dengan buku di tangannya, sedang belajar membaca dan menulis. Sebelum wanita itu bisa memanggilnya, orang tersebut sudah memotongnya.
“Cik Maryam? Itu Acik, kan?” tanyanya dengan nada khas anak-anak yang menggemaskan. Kepalanya berputar kecil ke kiri dan kanan karena masih mencari dari mana sumber suara. Karena masih ragu, ia hanya memutarkan sedikit kepalanya ke samping, memperlihatkan bagian samping wajahnya yang dililit kain putih di atas matanya kepada wanita yang bernama Maryam itu. Meski keseluruhan wajahnya tidak terlihat karena kain tersebut, semua orang bisa tahu kalau anak itu anak yang manis. Kulitnya bewarna sawo matang, rambut hitamnya yang pendek sebahu diberikan banyak jepitan manis.
Masih berusaha menormalkan nafasnya, “Iya, ini saya. Putri Tundjung, ayo kembali ke kamar, sebentar lagi ada tamu yang datang,” Maryam mendekati anak berusia tujuh tahun itu dan meraih tangannya.
“Abang Tasim sedang pergi sekejap. Tidaklah enak hati Tundjung jika pergi tanpa bilang-bilang. Bisakah kita menunggunya?”
“Pangeran Tasim akan diberitahu,”
Tundjung berdiri, ia memutar badan dan kini posisinya berada di samping Maryam. Mereka berjalan menuju dalam istana sambil bergandengan tangan. “Apakah tamu dari negeri bagian timur itu telah tiba di sini?” Tanya Tundjung.
“Tadi mereka ada di pelabuhan,”
“Bagaimana Cik Maryam tahu mereka di pelabuhan? Cik Maryam tadi pergi ke sana?”
Maryam terdiam sebentar, dengan senyum paniknya ia menjawab, “Ah! Saya dapat kabar dari pelayan yang lain,”
“Tundjung paham,” balasnya sambil mengangguk kecil. “Mereka dari Kerajaan Long?” lanjut Tundjung.
“Iya, Putri,”
“Apakah mereka benar-benar naga sungguhan?”
“Ya, mereka naga sungguhan. Dari mana Putri tahu kalau mereka naga?”
“Dari pelayan. Katanya, mereka besaaaaaar kali! Apa pelabuhan kita cukup besar untuk mereka? Ah, bukan! Apa Rawi Timur bisa menampung mereka? Bagaimana kalau tidak? Jangan-jangan harus dijamu di luar?”
Maryam tertawa mendengar pertanyaan-pertanyaan polos itu, “Tenang saja, Putri. Mereka tidak akan kesempitan. Sebab mereka manusia juga,”
Tundjung mengernyitkan dahinya, “Bukankah mereka naga?”
“Maksudnya, mereka manusia yang bisa berubah jadi naga. Jadi, jika mereka menggunakan wujud manusianya, mereka tidak akan kesempitan,”
Mendengar hal itu, Tundjung bersemangat. Jika matanya tidak tertutup kain putih, pasti matanya akan terlihat berbinar. Sambil tersenyum lebar ia bertanya, “Apa Tundjung bisa jadi naga juga?”
Tertawa kecil, Maryam menjawab, “Sayangnya, Putri Tundjung dan orang lain selain Keluarga Long tidak bisa berubah jadi naga,”
Senyuman Tundjung menghilang, kepalanya tertunduk ke bawah, membuat Maryam merasa bersalah karena tanpa pikir langsung menjawab seperti tadi. Tapi, selama tujuh tahun merawat nona mudanya, ia tahu Tundjung tidak akan bersedih lama dan pasti akan langsung segera ceria kembali. Benar saja, sedetik ia tertunduk, ia ceria kembali, “Kalau begitu, Tundjung mau jadi keluarga Long!”
"Tidak seperti itu, Putri,” kata Maryam sambil tertawa kecil. Tanpa sadar, mereka telah tiba di depan kamar Tundjung. Maryam membukakan pintu untuk si putri kecil dan menuntunnya ke tempat tidur. “Nanti siang saya akan bawakan Putri makanan. Apa Putri punya permintaan untuk dibawakan hal lain?”
“Hmm… Tidak ada,” jawabnya sambil menggeleng dengan semangat.
“Baik, saya permisi dulu, ya, Putri,” kata Maryam sambil keluar kemudian menutup pintu kamar. Setelah mendengar suara langkah kaki yang semakin menjauh dari kamar, Tundjung perlahan membuka kain yang sudah cukup lama menutupi matanya. Kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan kemudian mendengar suara keramaian dari luar, tampaknya para tamu telah tiba di Rawi Timur. Ia berjalan perlahan mendekati jendela, tapi sebelum ia sempat melakukan itu, pendengarannya menangkap suara langkah kaki yang mendekati kamarnya. Dengan cepat, Tundjung memasang kain putih untuk menutup matanya kembali.
Terdengar suara pintu kamar diketuk kemudian disusul suara anak laki-laki, “Dek, ini abang,” katanya sambil membuka pintu kamar, menunjukkan sosok remaja yang wajahnya mirip dengan Tundjung. Tubuhnya tinggi dan berisi, kulitnya bewarna sawo matang dengan rambut hitam pendek, matanya agak sayu tapi bola mata hitam kelamnya terlihat penuh semangat remaja. Tasim Khair Jagat adalah putra dari Sultan dan mendiang Permaisuri, istri pertama Sultan. Hal ini membuat tahta sultan berikutnya otomatis akan diwariskan kepadanya. “Kamu akan di sini terus, dek?” tanyanya,
“Iya, Bang. Seperti biasa,” jawab Tundjung sambil tertawa kecil.
Wajah Tasim menjadi sedikit muram. Sebenarnya Tasim ingin membawanya pergi bertemu tamu karena keluarga Long hari ini membawa putra mereka. Putra Kelurga Long, Long Xiang, seingat Tasim usianya hanya satu tahun di bawah Tundjung. Siapa tahu, Tuan Muda Long Xiang bisa menjadi teman Tundjung, karena Tundjung tidak memiliki teman. Dia selalu dikurung di dalam kamar. Dulu, ketika ia masih sering keluar, anak-anak dari keluarga bangsawan tidak mau berteman dengannya, bahkan rakyat jelata pun tidak mau dekat-dekat karena kondisinya. Tundjung adalah putri dari Sultan dan Permaisuri yang sekarang. Meskipun berbeda ibu, Tasim tetap merasa merawat dan menyayangi Tundjung seperti adik kandungnya sendiri. Ditambah dengan kondisi Tundjung, ia semakin tidak bisa untuk tidak menjaganya dengan sebaik mungkin. Pangeran Tasim memang murid silat paling kuat dan berbakat di kesultanan, tapi dia punya hati yang lembut, malah kadang terlalu lembut. “Nanti aku minta pelayan bawakan makanan kesukaanmu,”
“Cik Maryam juga nanti akan bawakan makanan,”
“Abang tambah. Abang juga akan bawakan mainan dan buku biar nanti tidak bosan,”
“Baiklah,”