Elegi Nirmala

Misha si Beruang
Chapter #3

ii. pertemuan

“Tundjung, sebaiknya kita kembali sekarang,” kata Tasim. Tundjung menghadap ke sumber suara sambil mengeluarkan erangan protes. Tuan Muda Long Xiang juga menatap Tasim dengan protes. Tundjung baru saja mendapatkan teman dan mereka belum sampai sepuluh menit menit bermain, tapi harus diakhiri secepat ini. “Saya minta maaf Tuan Muda Long Xiang, tapi adik saya harus segera kembali ke kamarnya sebelum pelayan datang membawakan makanan,” jelas Tasim sambil mengingatkan Tundjung bahwa Maryam akan mengantarkan makanan kepadanya di jam yang sama seperti biasanya.

“Ah, benar juga,” sambung Liu Zhiqiang, “Jam makan siang sebentar lagi. Benar kata Pangeran Tasim, sebaiknya mainnya dihentikan dulu dan kita kembali ke dalam untuk makan siang,

“Kalian bisa bermain lagi besok,” kata Tasim.

“Kenapa?” Tuan Muda Long Xiang tampak tidak senang karena dia baru saja asik bermain dan dia masih belum terlalu mahir dalam melempar gasingnya.

“Karena Putri Tundjung harus belajar,” jawab Zhiqiang sebelum Tasim sempat membalas. Tasim merasa bersyukur juga karena sebenarnya dia bingung harus menjawab apa. Tidak enak rasanya jika dia harus mengatakan terang-terangan pada tuan muda dari negeri lain kalau tuan putri di negeri ini sebenarnya dikurung dan dilarang berinteraksi. Meskipun adat pingit di Bhumi Malayu pada anak gadis cukup umum supaya tidak berinteraksi dengan laki-laki yang bukan keluarganya atau disebut mahramnya, alasan pingit pada Tundjung bukan sekadar itu. Ditambah lagi, pasti tuan muda yang masih penuh rasa penasaran akan meminta penjelasan. Bisa-bisa mereka terlambat kembali ke kamar sebelum Maryam datang. Untungnya juga Zhiqiang menjawab seperti itu supaya bisa melanjutkan perkataannya, “karena saya dengar Putri tidak seperti Tuan Muda yang malas belajar. Anda harus mencontoh Putri Tundjung, Tuan Muda,”

Aku rajin belajar!

Saya akan coba membuktikan itu setelah kita kembali,” dia menatap kakak-adik itu dan membungkuk, “Terima kasih atas jamuannya di sini, Pangeran Tasim, Putri Tundjung. Saya harap Putri Tundjung dapat bermain dengan Tuan Muda lagi besok,”

“Terima kasih sudah mau datang kemari,” balas Tasim. “Terima kasih sudah mau bermain dengan adik saya, Tuan Muda. Kami undur diri dulu.” tambahnya sambil tersenyum dan memberikan salam.

 

Untungnya mereka sampai di kamar Tundjung sepuluh menit sebelum makan siang diantar. Setelah mengantar Tundjung selamat sampai di kamar, Tasim segera pamit, keluar lewat jendela untuk pergi ke ruang jamuan, jadi seolah-olah memberikan kesan bahwa dia baru saja dari luar, melakukan tugasnya menemani Tuan Muda keluarga Long, yang mana memang ia laksanakan.

Tundjung berbaring di kasurnya. Dia terdiam sebentar, kepalanya menengadah ke langit-langit kamar yang terbuat dari kayu. “Aku punya teman,” katanya. “Aku punya teman,” ulangnya kali ini sedikit berteriak dan tidak percaya. Ia bangkit dan berdiri di atas tempat tidur, ia melompat-lompat sambil berseru senang, “Aku punya teman! Aku punya teman!” setelah puas melompat sambil berseru senang, ia menjatuhkan dirinya, masih di atas kasur tentunya, “Aku tidak bermain sendiri,” setelah beberapa saat, ia mulai merasa lelah menjalar ke punggungnya, mata di balik kain putih itu terasa semakin berat, dalam hati ia melanjutkan, selama Tuan Muda Long Xiang di sini… aku harus sering-sering bermain dengannya, dan ia pun menutup matanya.

***

Suara ketukan terdengar tiga kali dari pintu kamar, tapi tidak ada sahutan dari orang yang berada di ruangan. Ketukan itu terdengar lagi, kali ini diiringi suara dari seorang wanita, Maryam, “Putri Tundjung, saya bawakan makanan,”

Hening.

“Putri, saya masuk, ya,” lanjut Maryam karena masih tidak ada jawaban. Begitu masuk sambil membawakan makanan di baki, ia langsung melihat bahwa tuan putri di atas tempat tidur, “Sedang tidur, ya? Pasti Putri Tundjung merasa bosan sekali, ya,” ia berjalan menuju meja untuk meletakkan makanan di sana dan mendekati Tundjung yang tertidur. Ia menepuk ringan pundaknya sambil berbisik, “Putri, Putri,” perlahan-lahan, Tundjung membuka matanya di balik kain.

“Oh, Acik,” katanya sambil bangkit untuk duduk.

“Saya sudah bawakan makan siang,”

“Terima kasih,” ia turun dari ranjang dan berjalan perlahan sambil dituntun Maryam ke meja tempat makanannya disediakan. “Acik sudah bisa ke tempat Ibu sekarang. Pastikan makanannya habis, ya, Cik,”

Maryam menghela sambil tersenyum getir, “Saya akan berusaha sekuat tenaga. Saya akan kembali,” dan suara pintu tertutup pun terdengar.

Lihat selengkapnya