“Ayah tidak keberatan kalian menikah. Toh keluarga kami dan keluarga nak Daffa sudah lama mengenal. Ayah yakin nak Daffa bisa membimbing dan menjaga Naila.”
Wajah Naila berseri-seri mendengar jawaban Ayah ketika Daffa, kekasihnya, mengutarakan niat mereka untuk segera menikah. Ibu nampak menyeka matanya. Mungkin terharu, mengingat adik semata wayangku itu dulu bandelnya minta ampun, rupanya ada juga lelaki yang mau melamarnya.
“Masalahnya, Arsyad selaku kakak Naila masih belum menikah. Ayah ingin semua berjalan sesuai urutan-urutannya. Ayah harap kalian dapat memahami maksud Ayah dan bersedia menunggu sampai Arsyad menikah terlebih dulu.”
Aku tersedak ketika mendengar sambungan perkataan Ayah. Kupikir malam ini akan berakhir bahagia. Seusai makan malam kami akan pindah ke ruang keluarga untuk mendiskusikan rencana pernikahan Naila. Mungkin diselingi dengan sedikit candaan terkait statusku yang jomlo bertahun-tahun. Tak apalah aku berkorban sedikit, yang penting seluruh anggota keluargaku bahagia.
Namun rupanya Ayah selalu punya caranya tersendiri untuk membuat plot twist di tiap episode. Salah satunya adalah dengan menaikkan pangkatku yang semula hanya pemeran pembantu menjadi tokoh antagonis dalam drama kehidupan Naila.
Tepat di seberangku, kulihat sorot mata Naila mengancamku. Ekspresi bahagianya beberapa detik lalu lenyap tak berbekas. Digantikan ekspresi tak suka yang tercetak jelas di tiap sudut wajahnya. Keningnya berkerut dan dagunya terangkat, memberi kode supaya aku segera membelanya. Jawaban Ayah sungguh di luar perkiraan kami semua.
Aku menandaskan segelas air yang disodorkan Ibu. Selain untuk mendorong potongan rendang yang sempat tersangkut di tenggorokan, aku sengaja mengulur waktu untuk menemukan kata-kata yang tepat. Ssebenarnya Ayah adalah sosok yang penyayang, namun Ayah bisa sangat tegas dan menyeramkan jika marah. Aku tak ingin salah bicara.
“Emm.. Menurut saya, tidak masalah Naila untuk menikah lebih dulu, Ayah. Naila dan Daffa sudah empat tahun berpacaran, sedangkan saya belum punya calon istri. Tidak adil rasanya kalau mereka harus menunggu saya menikah dulu.”
Kulirik Naila, sorot matanya melembut, dia mengangguk-angguk puas. Sepertinya kata-kata yang kupilih sudah tepat, setidaknya bagi Naila, Daffa, dan Ibu. Karena jika dilihat dari ekspresi Ayah, beliau justru berpikir sebaliknya.