Telah lewat seminggu sejak drama keluarga kami di meja makan kapan hari. Selama seminggu terakhir, Naila dengan gencar membujukku, atau mungkin lebih tepat disebut menerorku, untuk segera menikah. Setiap kali bertemu dia selalu menyodorkan foto teman-teman wanitanya, menawarkan diri untuk menjadi mak comblang. Awalnya secara halus, makin lama dia terang-terangan mendesakku untuk segera memilih calon istri.
Sebagai kakaknya, aku paham betul sifatnya yang keras kepala. Jika dia sudah menginginkan sesuatu, maka dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkannya. Menyerah tidak ada dalam kamus kehidupan Naila. Segala penghalang yang menghadangnya akan dia terobos tanpa peduli. Kali ini, penghalang itu adalah aku.
Walau merasa terpojok, aku bisa memaklumi sikap Naila. Akan tetapi, menemukan calon istri yang cocok tentu tidak semudah mencari jarum di tumpukan jerami. Ya, kalian tidak salah dengar. Bagiku, mencari jarum di tumpukan jerami rasanya lebih mudah daripada mencari calon istri yang dapat membuatku melupakan bayang-bayang Vira.
Bahkan jika aku menemukannya pun, belum tentu dia mau menikah denganku kan? Bukankah dulu aku telah berpacaran empat tahun lamanya dengan Vira? Hubungan kami nyaris tanpa pertengkaran. Namun rupanya, semua itu tak cukup untuk membuat Vira menerima ajakanku ke pelaminan.
Aaargh..! Jika waktu Vira menerimaku, tentu persoalan pelik yang kuhadapi saat ini tak akan terjadi.
Demi menghindari bertemu dengan Ayah dan Naila, aku memilih menyibukkan diri dengan urusan pekerjaan. Beberapa hari terakhir, aku juga tak langsung pulang ke rumah selepas bekerja. Aku memilih berlama-lama nongkrong di luar, baru pulang menjelang tengah malam. Jika sedang tidak ada teman yang bisa kuajak main, aku akan ke bioskop untuk menonton film apa saja yang sedang tayang.
Aku juga mulai mempertimbangkan untuk pindah ke apartemenku di kawasan Kaliurang. Apartemen itu kubeli tahun lalu. Awalnya sekedar untuk investasi. Selama ini, apartemen itu kusewakan atau kupinjamkan pada klien dari luar kota yang butuh tempat transit sementara. Jika situasi tak kunjung membaik, mungkin pindah ke apartemen selama beberapa saat dapat menjadi solusi terbaik.
Untungnya hari ini aku sudah punya rencana pelarian. Habis maghrib nanti aku sudah ada janji bertemu dengan teman-temanku dari komunitas pecinta game lawas.
Kami akan melangsungkan acara pertemuan rutin bulanan di salah satu cafe dekat UGM. Usai acara komunitas, aku berencana meminta saran Rendra terkait masalah yang kuhadapi saat ini. Rendra adalah sahabatku sejak SMA yang sama-sama anggota komunitas. Sayangnya, CD game yang hendak dipinjam Rendra tertinggal di kamarku. Aku harus pulang dulu ke rumah untuk mengambil CD game itu.
Sesampai di rumah, aku menghela napas lega ketika tahu bahwa baik Ayah dan Naila sedang tidak berada di rumah. Ayah menghadiri pesta ulang tahun rekan sejawatnya, sedangkan Naila entah berada di mana, mungkin sedang bersama Daffa. Aku buru-buru ganti baju dan mengambil CD game yang kujanjikan pada Rendra.
Sebelum berangkat ke tempat pertemuan, aku melipir dulu ke ruang makan untuk mencari pengganjal perut. Seperti biasanya, Ibu selalu menyediakan stok buah-buahan segar di kulkas. Aku mengambil sebuah apel merah dan langsung menggigitnya. Lumayan untuk menunda lapar 1-2 jam ke depan.
“Kamu ga makan malam di rumah lagi, Syad?”
Aku tersentak mendengar suara Ibu. Sama sekali tak menyadari kehadiran Ibu di ruang makan.
“Iya bu. Ada janji dengan teman-teman.” Aku menoleh. Kulihat Ibu duduk di kursi makan. Aku bahkan tak mendengar suara derit kursi yang digeser.
Ibu menatapku khawatir. Aku memang berkata jujur. Aku benar-benar ada janji bertemu dengan teman-temanku. Tapi sepertinya Ibu dapat membaca alasan sesungguhnya mengapa aku sering menghabiskan waktu di luar beberapa hari terakhir ini.