Jemariku sibuk menyentuh layar ponselku yang menampilkan halaman instagram Vira. Yup, Vira mantan pacarku itu. Gadis yang telah membuat hatiku hancur berkeping-keping tujuh tahun lalu. Kadang-kadang aku memang mengunjungi halaman media sosialnya. Tidak sering kok, kalau aku sedang kangen saja. Itupun aku menggunakan akun palsu supaya tidak ketahuan. Walaupun harus bersembunyi di balik persona palsu, setidaknya aku tahu bahwa dia baik-baik saja.
Foto terakhir yang Vira unggah adalah foto liburannya ke Korea Selatan. Rambutnya kini dipotong pendek. Wajah lonjongnya nampak berseri-seri tertimpa sinar matahari saat dia berfoto di depan istana Gyeongbokgung.
Aku jadi teringat rencanaku untuk mengajak Vira berbulan madu ke Pulau Jeju. Sejak dulu Vira memang menggandrungi segala sesuatu yang berbau Korea, bahkan sebelum fenomena hallyu atau korean wave seheboh sekarang. Tentu saja rencana itu batal dengan sendirinya karena Vira menolak lamaranku.
Walau Vira sudah mematahkan hatiku sedemikian rupa, tak mudah untuk melupakannya. Bagaimanapun, Vira adalah cinta pertamaku. Bisa dibilang aku memang terlambat jatuh cinta karena baru merasakannya di tahun keempatku kuliah. Semasa sekolah aku memang terlalu sibuk dengan urusan sekolah dan hobiku bermain game. Menurutku, berpacaran itu merepotkan dan membuang-buang waktu.
Namun ketika aku bertemu Vira, pandanganku berubah. Waktu itu kami sama-sama menjadi panitia wisuda di kampus kami. Sejak pertama berkenalan, aku langsung merasa cocok dengannya. Status kami yang sama-sama anak sulung membuat kami memiliki banyak kemiripan sifat. Kesukaan kami pun sama. Kami sama-sama suka menonton film dan mencoba berbagai macam makanan unik. Segala persamaan itu membuatku nyaman bersamanya. Hanya butuh enam bulan pendekatan bagiku untuk yakin bahwa aku telah jatuh cinta.
Vira tidak seperti gadis kebanyakan. Dia adalah gadis yang mandiri, tak pernah merepotkanku dengan kemanjaan-kemanjaan yang tak perlu. Kami saling menghargai privasi masing-masing. Dia tak menuntutku untuk selalu menghabiskan waktu bersamanya. Selama menjalin hubungan dengannya, kami jarang sekali bertengkar. Sebagai sesama orang yang logis, jika ada masalah, kami akan membicarakannya baik-baik. Tidak ada acara ngambek-ngambekan yang menguras energi.
Semakin mengenalnya, aku semakin yakin bahwa dia adalah jodohku. Aku pun memantapkan hati untuk melamar Vira. Waktu itu usianya 25 tahun, sedangkan aku sendiri 27 tahun. Tentu saja aku telah memikirkannya matang-matang. Kami berdua telah memiliki pekerjaan tetap. Aku bekerja sebagai data analyst di sebuah perusahaan start up dan Vira menjadi dosen tidak tetap di kampus almamater kami. Menurutku, memang sudah saatnya kami melangkah ke tahapan berikutnya: pernikahan.
Rupanya perhitunganku salah. Kenyataan yang harus kuhadapi jauh berbeda dari bayanganku. Aku dan Vira memiliki pandangan yang berbeda tentang masa depan.
------------------------------------------
“Bukannya aku ga sayang sama Kak Arsyad. Kalau ga sayang tentu aku ga akan bertahan selama ini bareng Kak Arsyad. Tapi Kakak tahu kan, kalau masih banyak mimpi yang harus aku perjuangkan? Aku masih ingin fokus dengan studi dan karirku. Jadi untuk sekarang, menikah bukan prioritasku,” ucapan Vira waktu itu kembali terngiang di telingaku. Aku masih hafal setiap kata per kata. Aku masih ingat bagaimana intonasi suara Vira saat mengucapkannya.
“Ga papa, Vira, aku ga maksa kok. Aku akan menunggu sampai kamu siap, kok.” Walau dipenuhi kekecewaan, aku berusaha tak memperlihatkannya pada Vira. Kupaksakan tersenyum seolah aku tidak kaget melihat responnya.