Bilal berlalu.
Suasana masih dingin. Semua kembali ke ruang keluarga.
Kebersamaan yang tadi penuh kebahagiaan, berubah.
Malam semakin larut, Melati dan Hanan pamit pulang.
“Astagfirullah,” tiada henti Meylani berzikir.
Suasana menit sebelumnya, benar-benar memorak-porandakan, kebersamaan yang hangat yang seharusnya tercipta malam ini.
Meylani dan Leo, kembali duduk di kursi yang sama, saat sore tadi. Tampak kelelahan di wajah mereka berdua.
“Mas, ada apa dengan Bilal? Tidakkah Mas lihat, dia dalam kondisi sangat buruk?”
Leo mendekat pada istrinya, duduk di sampingnya. Meylani mendaratkan kepalanya, lagi, di pundak Leo.
“Dia kelihatan hancur, sangat hancur, Mas! Beberapa tahun, kita tidak pernah mendengar kabarnya. Hanya kabar tentang pernikahannya, anak-anaknya. Dia tidak pernah lagi bercerita tentang dirinya, kebahagiaannya. Seperti Bilal yang penuh obsesi dan banyak mimpi, di masa lalu.”
“Mas, sudah bertanya berulang kali, Sayang. Tapi Bilal hanya menjawab, semua baik-baik saja. Walaupun Mas tahu, itu jawaban yang kontra dengan kondisi dirinya.”
“Aku merasa stres dengan kondisi ini, Mas. Harapan, untuk persahabatan kita, sepertinya semakin lemah. Aku takut mengatakan, bahwa kita benar-benar tidak bisa lagi seperti dulu.”
Hening. Meylani menutup mata. Dia sangat lelah.
Beberapa saat, Leo baru sadar, istrinya telah terlelap.
Dia lantas, mengangkat tubuh Mey, ke tempat tidur.
***
Setelah meninggalkan rumah Leo, Bilal tak langsung pulang ke rumahnya.
Dia malah menghabiskan waktunya, di kios kecil yang tak jauh dari kampusnya dulu. Dia sangat kacau. Rambutnya acak-acakan. Pria yang selalu berpenampilan sempurna, tampak seperti kehilangan dirinya.
“Bilal?” pemilik kios terkejut dengan kehadiran Bilal, di malam yang larut ini.
Dia, yang selalu dipanggil Baba oleh mahasiswa yang mengenalnya. Wujudnya menggambarkan, dia sosok yang penuh kasih sayang. Pria itu sepantaran dengan ayahnya Bilal.
Dia mengambil teh hangat dan meletakkan di depan Bilal.
Dia lantas duduk. Menunggu kalimat pertama, dari pria yang sedari tadi hanya diam, menenggelamkan wajahnya di dalam lipatan kedua tangannya.
“Ba,” kata pertama meluncur. Dia mengangkat mukanya.
Air mata itu mengalir di pipinya. Duka itu terasa sangat menyayat hatinya yang tidak lagi utuh.
“Kamu merindukannya?”
Bilal semakin tidak mampu mengendalikan kesedihannya. Air matanya membanjiri pipinya.
Rasa malu sebagai seorang pria, tak lagi dia perlihatkan, saat berada di depan Baba, sosok yang sangat memahaminya.
“Nak, kamu selalu ke sini saat kamu merindukannya. Dua belas tahun. Sungguh waktu yang lama. Apa kamu tidak lelah seperti ini, Bilal?”
Bilal terpaku.
“Kamu sudah tiga puluh lima tahun. Kamu mau seperti ini, sampai kapan? Tidakkah kamu mau, mengalah demi kebahagianmu sendiri?”
“Aku tidak tahu Baba. Aku sekarang pria yang lemah, sangat lemah. Aku harus selalu menjadi orang lain, saat bersama keluargaku sendiri. Aku bisa apa? Saat kehidupanku berada dalam genggaman mereka?”
Baba tersenyum. Dia melihat pria yang sangat rapuh. Padahal dalam dunia nyata, dia pria yang percaya diri. Dia selalu menunjukkan pada dunia, bahwa dia yang terhebat, dia yang terbaik. Namun, ternyata cinta mampu menaklukkan semua itu.
Baba tetap berada di tempatnya, sebagai pendengar segala kekacauan hati Bilal.
Selama dua belas tahun, hanya kalimat itu yang selalu dia dengar dari mulut Bilal, 'Aku merindukannya, Baba'. Dan setelah itu, Bilal akan kembali pada dirinya dan kembali ke rumah.
Benar saja.
Hanya beberapa menit, Bilal sudah berdiri dan pulang.
Baba hanya tersenyum, melihat tingkahnya.
“Pak, anak itu sudah pergi?” ibu Sum, istri Baba, keluar dari dapur.
“Iya, Bu. Dia sudah pulang.”
“Kasihan sekali anak itu. Semoga Tuhan memberikannya kesempatan untuk mengobati kerinduannya.”
“Iya, Bu. Semoga saja. Kasihan sekali dia. Dia sudah menjalani hidup bukan bersama dirinya, dalam waktu yang sangat panjang. Bapak lihat dia sudah sangat lelah. Matanya tidak bisa berbohong.”
Detak jam dinding terdengar jelas. Menegaskan, perjumpaan gelap dan matahari, tak lagi lama.
Waktu, tidak pernah bisa dihentikan. Ia akan terus menjalankan tugasnya sampai takdir menghentikannya.
Seperti duka yang akan terus bertahan, sampai takdir mengantarkan bahagia, sebagai penawarnya.
***
Hari berganti.
Sebagai permohonan maaf, Camelia mengganti ketidakhadirannya semalam dengan mengunjungi rumah Meylani, sepulang dari kantor.
Camelia duduk sendiri di tepi air mancur, yang tengah memperlihatkan keindahannya.
Meylani, tak terlihat bersamanya.
Camelia begitu menikmati suasana sore. Dia merebahkan badannya di kursi panjang, tepat di samping taman kecil itu.
“Kamu tidur?” suara Meylani menghentak.
Camelia membuka mata, mendapati wajah cantik sahabatnya, tepat ada di hadapannya.
“Cuma menutup mata, Mey. Menikmati kesejukan udara sore ini. Memfokuskan pikiranku, menikmati suara gemericik air. Benar-benar membuatku larut dan relaks.”