Leo beranjak.
Dia meninggalkan kedua sahabat yang sedang melepaskan rindunya.
“Li, boleh gak aku bicara serius?” Meylani menatap Camelia.
“Ada apa?” Camelia tetaplah Camelia. Sosok yang sangat dingin, super cuek.
“Tapi janji, gak pake emosi dan marah ya?” Camelia tertawa.
“Ya Allah, Mey. Sejak kapan aku jadi pemarah?”
“Ya, siapa tahu saja.”
Camelia menggelengkan kepalanya. Kalimat Meylani sangat aneh untuknya.
“Semalam, Bilal datang.”
Wajah itu berubah.
Senyuman tiba-tiba terhapus, berganti wajah datar. “Bersama istrinya?”
“Sendiri.”
“Terus, hubungannya dengan aku, apa?”
“Aku gak tahu, apa yang terjadi pada Bilal. Dia seperti pria yang hancur, penuh masalah. Aku khawatir, dia tak bahagia dengan hidupnya.”
“Mey, kita ini sudah dewasa. Kita fokus saja dengan kehidupan masing-masing. Sudahlah. Kita ini bukan lagi remaja, seperti sepuluh tahun yang lalu.”
“Hatimu masih bergeming di tempat yang sama?”
Camelia tersenyum dan menggeleng. “Semua yang sudah pergi, jelas sudah jauh, Mey. Bagaimanapun kondisi hati saat itu. Perasaanku hari ini adalah untuk hari ini dan esok. Bagiku, tiada tempat lagi untuk masa lalu.”
“Oke. Jadi kita kembalikan posisi kita sebagai sahabat Bilal. Apakah persahabatan itu harus berubah dengan berubahnya waktu, bertambahnya usia dan berubahnya status?”
Camelia membisu.
“Aku mohon. Kita abaikan seluruh persoalan kamu dan Bilal. Apa pun namanya, aku, kamu, Leo dan Bilal adalah sahabat. Sebagai sahabat, aku dan Leo sangat berharap, kamu dan Bilal bahagia, bagaimana pun perjalanan hidup kalian.”
“Maaf, Mey. Hidupku, pun, butuh perhatian. Untuk saat ini, aku tidak bisa memikirkan kehidupan orang lain. Aku harap, kamu paham.”
Giliran Meylani, terpaku.
Camelia tetap bertahan pada jarak yang tercipta, antaranya dan Bilal.
Persahabatan itu, seperti waktu yang mempertegas, di mana dirinya berada.
“Oke baiklah, kita bahas yang lain. Apakah ada yang belum aku ketahui tentang kamu, Camelia Zenia?”
“Maksud kamu?”
“Aku sahabatmu, kan?”
“Iya. Memangnya ada apa? Langsung aja, Mey. Aku gak suka mutar-mutar.”
“Ehm, ya itu memang kamu. Tentang Willy Samudera?”
Camelia terkejut, mendengar nama Willy, keluar dari bibir Meylani.
“Kamu kenal dengan mas Willy?”
“Kenal! Kalian ada hubungan?”
“Iya.”
“Lia, Lia. Sampai hal begini, kamu gak cerita sama aku? Memang, kamu sudah menjaga jarak Lia. Kamu tidak menganggap aku lagi sahabatmu.”
“Hey, ada apa sih?” Camelia tertawa dengan sikap Meylani. Dia heran dengan kalimat sahabatnya itu.
“Iya kami ada hubungan. Dia yang megang Rumah Bahagia sekarang. Kami sekantor, terus masalahnya di mana?” sambungnya.
Camelia menyebutkan seluruh defenisi tentang hubungannya dengan Willy.
“Camelia Zenia, kamu tidak mengerti, makna hubungan yang aku maksud?”
Camelia, tersenyum. Dia akhirnya paham, penegasan kata hubungan, yang Meylani maksud. Dia lantas memegang kedua tangan sahabatnya.
“Mey, Camelia Zenia, masih seperti Camelia Zenia yang kamu tinggalkan ke Jepang, sepuluh tahun yang lalu. Gak ada yang berubah, Mey. Aku masih sendiri.”
“Tapi, kata Melati—“