Willy tampak gelisah. Dia terus mondar-mandir di ruangannya.
Dari kejauhan Viona menuju ke arahnya.
“Ada apa?” mata Viona menelisik, mencari-cari sebab kegundahan rekannya itu.
Willy akhirnya bisa duduk tenang. Pun, Viona mendaratkan tubuhnya di kursi depan Willy.
“Vi, bisa lihat ke sana?” Willy mengarahkan telunjuknya ke arah ruangan Camelia. “Lia?” Viona memastikan.
“Sebelahnya!” nada suara Willy, menegaskan sesuatu yang tidak dia sukai. “Oskar?”
“Ada urusan apa anak baru itu, selalu di ruangan Camelia beberapa hari ini?!
Viona tertawa.
Willy membuang muka.
“Willy, Willy. Kamu cemburu?” Willy semakin menjauh, menyembunyikan wajahnya.
Willy masih membisu.
Viona menatap Willy lebih dalam. Dia akhirnya paham, apa yang sedang bergemuruh dalam hati pria itu.
“Will, sekarang Oskar menangani kasus ibu Mayang. Dari hasil rapat sebelumnya, Lia akan mendampingi Oskar.” Viona menjelaskan, masih menahan tawa.
“Kenapa harus Lia, Vi? Masih ada yang lain!”
Viona kembali, tertawa.
“Will, Lia yang paling berpengalaman di antara anak-anak baru itu. Jujur deh, kamu cemburu?”
Willy mengangkat muka, menatap serius Viona. “Apa perlu aku jawab?”
“Harus dong! Agar aku benar-benar yakin, pokok permasalahannya!”
“Kamu kan tau, beberapa tahun ini, aku sudah berjuang mendekati Lia. Kalau ada pria lain yang dekat dengan dia, perjuanganku akan semakin berat!”
“Mereka dekat karena urusan kantor, Will. Kamu jangan berlebihan!”
“Vi, aku pria. Aku tahu banget, pria mana pun yang dekat dengan Lia, akan jatuh hati.”
“Terus, kenapa gak sekalian diikat saja, kalau begitu?”
Willy terpaku.
“Ya, ini masalah kamu. Aku bingung. Kalau memang benar-benar serius sama Lia, kamu sampaikan langsung. Kalau seperti ini, apa yang kamu harapkan? Yang ada, kamu yang sakit hati sendiri.”
“Vi, aku sudah bicara dengan Melati. Katanya, Lia belum bisa menerima siapa pun saat ini.”
“Aduh, Willy. Kok malah cerita ke adiknya sih. Kan, beda lagi urusannya, Willy! Kamu takut banget ya, ditolak?” tanya Viona, sambil tertawa.
“Takutlah. Kamu kan tahu, Lia itu gimana? Ngomong biasa aja, aku segan banget sama dia.”
“Ya inilah masalahnya. Kamu sulit dekat dengan Lia, karena kamu selalu baper. Cobalah dekati dia secara profesional, sebab hubungan kerja. Agar kalian bisa banyak ngobrol.
“Kamu sih, selalu menempatkan Lia, berbeda. Jadinya kamu menciptakan jarak. Padahal, Lia itu wanita terbuka, mudah bergaul. Kamu lihat, dia sangat akrab dengan anak-anak baru itu. Satu yang pasti, kalau kamu tetap seperti ini, bisa jadi, Oskar akan seperti yang kamu bilang tadi.”
“Aku jadi serba salah. Aku benar-benar bingung! Baru kali ini aku kehabisan akal menghadapi seorang wanita.”
“Ehm, emang seberapa hebat sih kamu bisa menaklukkan hati wanita, Will? Seberapa sering?” Viona malah semakin tertawa, mengejek kepercayaan diri Willy. “Buktinya mana?” sambung Viona.
Willy tidak menanggapi.
Suasana menjadi hening.
Viona terus menatap kegundahan rekannya itu. Ekspresinya wajahnya menjadi lebih serius.
“Will, hasil akhir itu adalah hadiah dari sebuah proses. Jadi perjuangkan, jika kamu memang menginginkan Lia. Menunggu seperti ini, justru kamu menciptakan hasil yang menyakitkan lebih awal.”
“Aku cocok gak ya, dengan Lia?” kembali, kalimat Willy, membuat Viona tertawa lebar.
“Ehm, sejak kapan, Willy Samudera tidak percaya diri seperti ini?”
“Viona aku minta pendapat,” sahut Willy, menyayukan hati.
“Ehm….” Viona menggerak-gerakkan jarinya, terus berpikir atas pertanyaan Willy.
“Susah banget ya. Jujur aja, enggak apa-apa.”
“Sebenarnya sih, aku lihat, ada sisi yang cukup pelik. Lia itu orangnya sangat sabar, penuh maaf. Orangnya positif banget. Kamu siap dengan itu? Sedangkan yang aku tahu, kamu berada di sisi sebaliknya.”
“Apakah kamu percaya, cinta bisa mengalahkan segalanya?”
“Sejauh ini sih, aku belum terlalu yakin. Karena mengubah watak seseorang itu, sangat sulit, Will, bahkan mustahil.”