Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta

Jane Lestari
Chapter #8

Bagian 8

Perubahan sikap Willy, akhirnya menjadi bahan gosip, Kikan, Via bersama rekan-rekannya. Tahun lalu, gosip ini sempat mencuat, namun akhirnya berlalu begitu saja. Namun, kini situasinya berbeda.

Di kantin, saat jam makan siang, para wanita muda itu berkumpul di satu meja. Dan pastinya, topik hangat yang sedang mengudara adalah Willy Samudera. Pria tampan namun menyebalkan.

“Kalian sudah tahu kan, gosip kemarin?” Via memulai siaran langsungnya. “Pastinya!” sahut Mia.

“Oh iya. Aku kan belum lama di Rumah Bahagia. Aku penasaran saja, apa mbak Camelia, juga ada hati pada mas Willy? Atau hanya cinta bertepuk sebelah tangan?” ujar wanita yang paling muda, Yuni.

Wanita lainnya tiba-tiba terdiam. Mereka saling menatap satu sama lain.

“Iya, ya. Aku baru sadar, selama ini mbak Lia, kelihatan tidak menanggapi sikap manis mas Willy,” jelas Kikan.

“Kalau aku sih, sebenarnya, gak setuju mbak Lia dengan mas Willy.” Via berubah serius.

“Emang kenapa Mbak?” tanya, Mia dan Yuni, serempak.

“Dari kita berempat, aku yang paling senior di Rumah Bahagia. Aku sudah bersama dengan mas Willy dan mbak Lia, jauh lebih lama. Semua perjalanan Rumah Bahagia, selalu mengesankan. Dan aku selalu merasa bangga menjadi seorang wanita, karena sosok mbak Lia. Tapi, ketika disandingkan dengan mas Willy, aku merasa seperti langit dan bumi.”

“Langit dan bumi? Bukannya mas Willy itu putra pendiri Rumah Bahagia? Dia sebagai pria tampak sempurna dan idaman semua wanita,” sanggah Kikan.

“Tapi, untuk mbak Lia, standar itu tidak berlaku, Ki.”

“Mbak, kok bisa menyimpulkan seperti itu?” Kikan masih penasaran dengan pernyataan Via.

“Jika mbak Lia mencari tipe seperti mas Willy, aku yakin, sejak dulu beliau sudah merespons. Tapi buktinya, tidak kan? Intinya, sebagai fans berat mbak Lia, aku gak setuju sama mas Willy.”

“Alasannya, Mbak?” Mia ikut penasaran.

“Ya itu tadi, mereka seperti langit dan bumi. Mas Willy, seperti api yang selalu siap membakar apa pun di sekelilingnya. Tiba-tiba marah, tiba-tiba rusuh. Moody, seenaknya. Memang fisiknya sempurna, tapi itu enggak ada artinya kalau dia gak buat nyaman, kan? Aku kalau lihat mas Willy bawaanya mau ngamuk. Dia itu pria yang sangat menjengkelkan.”

“Segitunya ya, Mbak?” Yuni turut menyimak serius.

“Kemudian, aku membayangkan sosok mbak Lia. Dia seperti hujan yang selalu menyejukkan. Bersamanya, aku selalu merasa nyaman, tenang, dan bahagia. Dia selain partner terbaik, kadang bisa jadi sosok sahabat. Kalau aku ada masalah, aku selalu curhat ke mbak Lia. Dan dia pendengar sejati. Aku merasa, sosoknya hanya ada dalam dongeng, tapi ternyata ada di dunia nyata.”

“Tapi, bukannya air dan api cocok, Mbak. Saling melengkapi?” Mia kembali menyumbang suara.

“Iya juga, ya,” pikir Via.

“Tapi, kalau gitu, mbak Lia-nya yang akan bekerja keras. Dia harus selalu siap memadamkan api setiap saat. Terus, ketika tiba-tiba kemarau gimana?” Kikan melanjutkan.

“Tuh kan? Memang keduanya tidak cocok. Aku gak rela saja, mbak Lia berjodoh dengan mas Willy.”

Keempat wanita itu, pun, terdiam. Topik pembicaraan yang berat, tampak membuat mereka kelaparan. Akhirnya, makanan yang sejak tadi didiamkan, tersentuh oleh pemiliknya.

Di sudut kantin, tampak Lia hadir bersama Viona. Tanpa dilihat oleh keempat wanita muda itu, pembicaraan mereka ternyata terdengar jelas oleh Lia dan Viona.

“Li,” Viona mencoba menyadarkan Lia dari lamunan.

Viona ikut merasa tidak nyaman, dengan pembahasan keempat junior-nya itu. Pembicaraan itu sangat menganggu Camelia.

“Aku bingung, Mbak. Aku harus bagaimana?” Lia akhirnya terbangun dari diamnya.

Viona justru terpaku. Dia bingung memosisikan dirinya.

“Mbak Viona pasti tahu masalah ini, kan?”

Lagi, Viona tersentak dengan pernyataan Camelia.

“Mbak adalah sosok terdekat mas Willy di Rumah Bahagia. Lia yakin, mas Willy sudah membahas semua ini dengan mbak Viona.”

Viona terpaku. Dia khawatir, tanggapan Camelia akan negatif padanya.

“Hal seperti inilah yang aku takutkan, Mbak. Aku takut membangun hubungan khusus di atas hubungan profesional. Karena aku khawatir, itu akan berpengaruh terhadap citra dan profesionalisme kerja.

“Buktinya sekarang. Mendengar kalimat-kalimat mereka, aku merasa bersalah pada mas Willy. Citranya menjadi sangat negatif karena aku.”

Lagi, Viona terperanjat dengan kalimat Lia.

Bagaimana bisa, dia merasa bersalah, pada apa yang tidak dilakukannya?

“Lia, Mbak sedikit bingung. Mengapa kamu merasa bersalah? Bukankah selama ini, kamu tidak pernah merespons sikap Willy?”

“Ya, karena itu Mbak. Jika sejak awal, aku jujur dan memberi batas, citra mas Willy tidak akan seperti ini.”

Camelia Zenia, aku tidak mengerti cara berpikirmu. Viona larut dalam renungannya.

***

Lihat selengkapnya