Suasana pagi kembali menyibak kesibukan tanpa jeda.
Tampak, seluruh senior consultant tengah rapat di ruangan Willy.
Willy Samudera adalah Direktur Rumah Bahagia saat ini. Rumah Bahagia sebenarnya bernama Samudera Relationship and Marriage Councelor. Namun, klien banyak menyebutnya Rumah Bahagia.
Suasana rapat kelihatan sangat serius. Tapi, mendadak seluruh perhatian tertuju pada bunyi ponsel Camelia.
“Maaf.” Camelia memberi isyarat, untuk mengangkat telepon di luar ruang rapat.
“Iya Pak, ada apa?” Camelia baru menyadari, panggilan tersebut berasal dari Security apartemen-nya.
“Siapa, Pak?”
Ekspresi Camelia tiba-tiba berubah, panik. Dia seketika mematikan ponselnya dan kembali ke ruang rapat.
Dia mendekat dan berbisik pada Viona dan kembali meninggalkan ruangan itu.
Dia seperti memburu sesuatu. Dia lantas mengambil dompet dan kunci mobil, segera meninggalkan kantornya.
Dipacunya mobil dengan kecepatan maksimal. Dia kelihatan sangat khawatir. Tak lama, dia sudah tiba di kediamannya.
“Di mana, Pak?”
“Di depan apartemen, Mbak Lia.”
“Di lorong?”
“Iya, Mbak.”
Camelia segera naik ke lantai lima. Dia merasa lift bergerak sangat lambat. Akhirnya dia memutuskan berlari melalui tangga.
Dia tak lagi berpikir panjang. Napasnya terputus-putus. Kini, di lantai tiga, baru dia merasakan beratnya lelah. Langkahnya begitu berat. Lelah benar-benar menguasainya.
Dia berhenti. Mengatur napas. Kemudian dia melanjutkan langkahnya ke lantai lima.
Setelah berjuang keras, dia akhirnya mendapati lantai bertulis angka lima.
Beberapa langkah lagi.
Dia berjalan perlahan, bertolak pinggang, sangat letih.
Setelah berusaha melawan kelelahan, akhirnya dia mendapati kamar 525. Sosok wanita, didapatinya, duduk terkulai bersandar di pintu kamarnya.
Wanita itu memejamkan mata, dengan pipi yang mengkilap.
Pertanda, ada jejak air mata yang sempat membasahinya. Dia tersadar, membuka mata, saat merasakan kehadiran Camelia.
Camelia terduduk.
Tanpa kata, air mata wanita itu kembali membanjiri matanya. Dia membuang dirinya dalam pelukan Camelia.
Camelia terpaku.
Matanya merah, menahan air mata. Melihat sosok yang begitu sangat disayanginya terlihat sangat hancur, hatinya pun ikut tersayat, sangat pedih.
Tanpa suara, Camelia membuka pintu apartemen-nya. Dia membantu wanita itu berdiri dan dipandunya masuk. Raganya seperti kehilangan kekuatan, dia sangat lemah.
Suasana masih hening.
Camelia memberikan ruang untuk Meylani menenangkan diri. Meylani bersandar pada kursi, di balkon. Matanya menatap kosong. Kesedihan itu, seperti tak mampu lagi dia bahasakan.
Satu jam berlalu.
Camelia menghidangkan sop hangat. Entah mengapa, langit seperti ikut merasakan duka yang sama. Hujan deras turun bersamaan dengan air mata Mey yang kembali hadir.
“Kita makan dulu, ya.” Lia membujuk sahabatnya itu.
Mey tampak sangat lemah. Akhirnya raga yang lelah itu mengalah.
Mey membuka mulut dan Lia dengan sigap menyuapinya, perlahan.
“Kenapa gak hubungi aku, kamu mau ke sini? Aku bisa nitip kunci apartemen,” Camelia mencoba menghangatkan suasana, memulai obrolan.
“Ponselku jatuh, entah di mana,” Meylani sangat lemah. Tutur katanya, menjelaskan semuanya.
Apa yang terjadi padamu, Mey?
Camelia melihat ada duka yang sangat berat. Tapi dia belum berani bertanya. Camelia membawa piring ke dapur.
Saat kembali, Mey sudah tertidur di kursi. Matanya menyiratkan sedih yang begitu besar.
Ponsel Lia berbunyi. Didapatinya pesan dari Leo.
Leo: Li, Mey sama kamu?
Lia: Kalian ada masalah apa? Kamu jangan sampai mengingkari janjimu, Leo! Kamu tahu, akan berhadapan dengan siapa, jika terjadi sesuatu dengan Mey!
Leo: Tenang dulu Li. Aku tidak tahu, mengapa Mey meninggalkan rumah. Aku balik dari kantor, Mey sudah tidak ada di rumah. Dia meninggalkan ponselnya.
Lia: Kita tunggu saja, sampai Mey lebih baik. Segera aku kabari!
Leo: Aku nunggu ya, Li. Aku sangat khawatir.
Fokus Camelia, kembali ke sahabatnya. Dia menyaksikan kesedihan yang tak biasa. Meylani tak pernah seperti ini. Bahkan mengucap satu kalimat pun, kini, dia tak lagi sanggup.
***