Matahari akhirnya memancarkan cahaya indah, menembus jendela kamar apartemen bercat kuning itu. Seluruh ornamen kediaman Camelia di dominasi warna kesukaannya, kuning.
Meylani tampak sudah bangun, dengan wajah yang lebih segar.
Istirahat, ternyata bisa memulihkan kondisinya.
Dia kelihatan sibuk di dapur kecil apartemen itu. Sedang Camelia, masih terlelap di karpet, samping tempat tidur.
Meylani, menatap wajah sahabatnya yang terlihat sangat lelah.
Bunyi alarm, tiba-tiba membuat gaduh. Membuat Camelia terbangun. Dia langsung mematikan suara berisik itu.
“Mey?” Lia terkesiap, melihat keberadaan Mey di dapurnya, sepagi ini.
Meylani membalas dengan senyuman.
Alhamdulillah.
Lia sangat bahagia, mendapati senyuman itu kembali. Dia lantas menuju kamar mandi membersihkan diri.
Tak lama, dia kembali duduk di meja makan.
“Kamu enggak ke kantor, Li?”
“Aku sepertinya ingin di apartemen saja, hari ini.”
“Bukan karena aku, kan?”
Camelia, tersentak.
“Ehm, ya, bukan. Memang aku sudah rencanakan sejak beberapa hari yang lalu. Kebetulan saja kamu di sini.”
Camelia tampak menyembunyikan alasan yang sebenarnya. Dia tidak ingin membuat Meylani merasa bersalah.
Kembali, hening.
Meylani menyajikan secangkir kopi kesukaaan Camelia, beserta roti bakar yang baru saja diangkat dari pembakaran.
Ingin rasanya aku memulainya. Tapi— Camelia masih saja ragu, memulai percakapan dengan Meylani.
“Terima kasih ya, Li.”
Camelia mengangkat alis. “Terima kasih untuk apa?”
“Karena kamu tidak pernah berubah.”
Seketika, keharuan seperti petir yang menyambar. Kalimat Meylani, langsung mengubah suasana kembali pilu.
Camelia menggenggam tangan sahabatnya. Dengan senyumannya, dia berkata, “Mey, persahabatan tidak akan pernah berubah karena alasan apa pun. Karena semuanya dari sini,” Lia menunjuk ke hatinya.
Mey membalas dengan senyuman.
“Terima kasih, Li.”
Air matanya kembali hadir.
Pagi hari ternyata mengembalikan kesedihan yang sama.
Perasaaan Lia, pun, bergemuruh hebat. Dia gelisah, sangat gelisah. Dia terus menenangkan diri. Dia harus lebih kuat.
“Mey, apa boleh, Leo ke sini?”
Mey tidak menjawab. Dia menggeleng.
“Baiklah. Aku akan melakukan apa pun, yang membuatmu lebih nyaman.”
Lagi, Mey hanya menjawab dengan senyuman yang dipaksakan.
Setelah sarapan, Mey kembali menghabiskan waktunya, duduk di balkon.
Camelia hanya menatapnya dari jauh. Dia membiarkan Meylani bersama dirinya sendiri.
Camelia kemudian teringat, pekerjaan penting yang harus dia selesaikan hari ini. Dia seketika mengirim pesan pada Viona.
Lia: Mbak, aku gak masuk hari ini.
Viona: Kamu enggak apa-apa, kan?
Lia: Aku baik, Mbak. Tapi aku harus di apartemen menemani Mey. Dia butuh teman.
Viona: Oke. Nanti aku sampaikan pada Willy.
Lia: Mbak, aku boleh minta tolong?
Viona: Iya, apa itu?
Lia: Aku minta tolong, disampaikan ke Oskar, untuk mengantarkan dokumen yang harus aku tanda-tangani, di atas mejaku, Mbak. Di map merah.
Viona: Baik Li. Segera Mbak sampaikan ke Oskar.
Lia: Terima kasih, Mbak.
Viona: Oke Lia.
Camelia, lega. Urusan kantor bisa dia selesaikan di apartemen.
Aku harus bertemu Leo hari ini. Tapi bagaimana caranya? Mey sendiri di sini, pikir Lia.
***
Beberapa jam kemudian, bel apartemen berbunyi.
“Itu siapa, Li?”
“Kayaknya dari kantor, bawa dokumen untuk aku tanda-tangani.”
Belum sempat Camelia berdiri, Meylani sudah berjalan menuju pintu.