Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta

Jane Lestari
Chapter #11

Bagian 11

Lia kembali ke apartemen-nya. Perasaan yang tak baik, pikiran kalut. Semuanya menjadi satu. Dia hanya berusaha terlihat baik di hadapan Meylani.

Dia membuka pintu apartemen, dengan kunci cadangan yang dibawanya.

Dia menilik keberadaan Mey.

Makanan masih utuh!

Lia mendapati makanan di atas meja yang dia siapkan sebelum pergi tadi, ternyata belum di sentuh oleh Meylani.

“Mey, kamu enggak apa-apa? Kenapa kamu belum makan?” Lia segera memeriksa kondisi Mey yang sedang berbaring di tempat tidur.

“Mey, tanganmu dingin sekali. Kita ke rumah sakit, ya, aku khawatir.”

Mey tidak menjawab.

Lia tergopoh-gopoh. Diambilnya ponsel dan menghubungi seseorang.

Dia menyiapkan seluruh keperluan Mey dan memasukkannya ke dalam ransel ukuran sedang, yang terpampang di atas almarinya. Dia dengan cepat, mengambil barang-barang penting yang dilihatnya.

Lia dengan sigap membuka pintu, saat bel berbunyi.

“Makasih, Pak. Bisa bawa ini ke mobil?”

“Iya, Mbak.”

Tampak security membawa sebuah kursi roda.

Dia kemudian membantu Lia membawa barang-barang tadi ke basement.

Ya Allah, semoga Mey baik-baik saja. Lagi-lagi aku membuat kesalahan!

Rasa bersalah, terus mengikuti langkah Lia.

Kondisi Mey ternyata semakin buruk setelah ditinggalkannya beberapa jam.

Camelia mendorong kursi roda menuju basem­ent. Wajah Meylani sangat pucat.

“Li, dadaku sakit,” ucap Mey, lirih.

“Iya, Mey, kita ke rumah sakit sekarang.”

Lia terus berjuang menenangkan diri dari ketakutan. Berusaha terus kuat mendampingi sahabatnya itu.

Jantungnya berdetak tak karuan.

Perasaan bersalah itu semakin menguasai dirinya. Mobilnya melaju cepat, dengan terus memerhatikan kondisi Meylani, yang terbaring di kursi belakang.

Waktu berjalan begitu cepat.

Tiba di rumah sakit, Meylani langsung dibawa masuk, ke ruangan unit gawat darurat.

Lia tetap setia berada di sampingnya. Dengan hati yang semakin gelisah, dia bingung, ingin menghubungi siapa.

“Aku tidak mungkin menghubungi Leo. Tapi dia harus tahu kondisi istrinya memburuk. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?” Lia terus berbicara sendiri. Dia sangat tertekan.

Dia mengambil napas, berusaha menenangkan diri. Dia tahu betul dalam kondisi gelisah, dia akan semakin sulit mengambil keputusan.

 Lia: Mas Will, maaf mengganggu.


“Ya Allah, hanya dia yang bisa aku andalkan saat ini.” Lia terus menatap layar ponselnya. Pesannya belum juga terbaca oleh Willy.

Dia terus menggerak-gerakkan kakinya. Dia sungguh tidak tenang.

Alhamdulillah.” Lega, saat pesannya berubah centang biru.

 

Willy: Iya, Li. Kamu enggak apa-apa, kan?


Berat sekali, tapi aku tidak tahu lagi minta tolong pada siapa. Aku tidak bisa mengurus semuanya sendiri. Sedangkan Mey butuh didampingi.

Hatinya bergolak. Berat sekali, dia kembali merepotkan Willy.

 

Lia: Mas, Mey masuk rumah sakit.

Willy: Aku ke sana!

 

Tanpa banyak kata, tanpa harus dijelaskan, Willy seperti tahu betul, Lia sangat membutuhkannya. Dia lekas menuju rumah sakit.

Jika sesuatu terjadi pada Mey, kamu akan berurusan denganku Leo! Kamu benar-benar pria berengsek! Amarah Lia semakin menjadi.

Meylani masih diperiksa dokter. Lia hanya melihatnya melalui kaca dari luar ruangan.

Papi dan mami Mey? Oh my God, apa yang akan aku katakan? Lia, kembali merutuk dirinya sendiri. Dia sangat menyesali semuanya.

“Li?” Sosok yang diharapkannya, ada di belakangnya.

“Mas Will!”

“Bagaimana keadaan Mey?”

“Sementara diperiksa dokter, Mas.”

“Tidak hubungi suaminya? Si…, aku lupa namanya.”

“Leo.”

“Iya, Leo.”

“Belum, Mas. Ada sedikit masalah di antara mereka. Mey belum mau bertemu Leo.”

Willy terpaku. Dia lantas duduk berhadapan dengan Lia, namun berjarak oleh lorong rumah sakit.

Lia tampak lemah. Dia tidak bisa membohongi dirinya, mental dan fisiknya benar-benar terkuras dengan masalah ini.

Dokter dan perawat meninggalkan bilik Mey.

Lia segera menemui dokter.

“Dok, bagaimana kondisi Mey?”

“Dia sangat lemah. Katanya tadi, dia belum makan dari pagi?”

Lia, Lia. Apa yang kamu lakukan. Mey memang belum makan dari pagi, dan ini sudah jam empat sore. Kembali, dia mencaci dirinya sendiri.

Lihat selengkapnya