Kala Lia dan Willy terlelap, Meylani terbangun. Dia menatap satu per satu, seorang di sisi kanannya dan seorang lagi di sisi kirinya.
Willy? Dia Menginap?
Mey terkejut dengan keberadaan Willy.
Benar-benar pria ini. Aku sangat salut dengan perjuangannya. Terus kenapa, sofa itu malah dianggurin?
Mey menggeleng tak percaya. Sofa panjang yang seharusnya bisa mereka gunakan, malah dibiarkan tidak terpakai. Sedangkan mereka berdua, menyiksa diri tidur dalam keadaan duduk begitu.
Mey menggenggam tangan Lia.
Sekali lagi, rasa syukurnya tak henti dia lantunkan.
Terima kasih, ya Allah.
Malam terus bersenandung, bersama detik-detik yang saling berkejaran. Hingga akhirnya berakhir saat gelap berganti dengan terang.
Subuh, Willy sudah terjaga lebih dahulu. Disusul Lia, yang kemudian menghadap ke Penguasa Kehidupan. Mereka berdua, bertemu di musala.
“Mas Will, enggak balik? Hari ini ke kantor, kan?”
“Ehm….”
“Jangan bilang, Mas masih mau di sini!”
“Enggak boleh?”
“Please, Mas Will. Aku tidak suka seperti ini. Mas Willy balik sekarang dan ke kantor. Jangan membuat aku semakin merasa bersalah. Dan membuat aku menyesali, keputusan menghubungi Mas Willy kemarin.”
“Oke, Lia. Aku balik!”
Ketegasan Lia, akhirnya mampu menaklukkan keras kepalanya Willy. Entah apa yang ada di pikirannya. Mau menjaga Mey, ataukah menjaga sahabat Mey.
Kembali ke kamar, Willy langsung pamit pada Meylani. Lia menyempatkan mengantar Willy sampai di parkiran.
“Terima kasih ya, Mas.”
“Jangan lupa hubungi aku, jika ada yang kamu dan Mey butuhkan.”
Lia tidak menjawab.
Hanya senyuman tanpa arti yang dia berikan, melepas Willy, berlalu meninggalkan rumah sakit.
Kembali ke kamar, ponsel Lia kembali berdering.
Dia melihat nama Leo, di layar ponselnya.
Dia keluar dari kamar.
Meylani menatap heran, sikap Lia yang tak biasa.
“Ada apa?”
“Lia, tolong, bantu aku. Aku khawatir keadaan Mey. Aku sangat merindukannya, Li. Aku bahkan tidak mendengar suaranya dua hari ini. Please, Lia. Bantu aku!”
“Nikmati hasil karyamu, Leo. Itu ganjaran yang tepat untukmu!”
“Lia, bisa kan, kita bicara baik-baik. Tolong, Lia, kasihani aku. Aku benar-benar hancur, menyakiti hati Mey. Aku sangat mencintainya.”
“Mey di rumah sakit!”
“Apa?”
Lia menutup teleponnya.
Dia jenuh, bosan dengan permohonan maaf pria itu. Baginya, kesehatan Mey yang menjadi prioritas saat ini.
“Siapa, Li?” Mey langsung menodong dengan mata penuh tanya, saat Lia kembali ke kamar.
“Leo,” jawab Lia, pelan.
“Oh.” Mey berubah diam. Wajahnya kembali tampak tidak bahagia mendengar nama suaminya.
“Mey, apakah sangat besar kesalahan Leo?” Lia menatap sahabatnya itu lebih dekat.
“Aku sakit, Li. Aku hanya ingin sendiri tanpa dia saat ini.”
“Baik.”
Lia pasrah atas hubungan kedua sahabatnya itu.
Dia tidak mungkin berbicara banyak hal saat ini. Kala kondisi Mey belum membaik.
InsyaaAllah, semua akan kembali baik. Cinta itu masih ada di sana, batinnya.
Detik kembali berganti. Lia tidak sadar, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Dia melupakan sesuatu.
Dokter sedang memeriksa kondisi Mey.
Lia keluar dari kamar, tampak menghubungi seseorang.
“Oskar?”
“Iya, Mbak.”
“Maaf ya, aku enggak bisa hadir meeting hari ini. Ada hal lain yang harus aku selesaikan. Meta bisa gantikan aku?”
“Gak apa-apa, Mbak. Tadi mas Willy sudah mengambil alih.”
“Mas Willy?”
“Iya, Mbak. Mbak Lia gak perlu khawatir. Semuanya sudah diurus beliau.”
“Baik, Oskar.”
Lia mengakhiri obrolan.