Meta dan Oskar, pun, meninggalkan ruang rapat.
“Will, kita harus mempertimbangkan saran Meta dan Oskar.”
“Itu tidak mungkin! Rumah Bahagia sudah sepulun tahun, bahkan lebih dari itu. Kita sudah menjalani semuanya dengan baik dan sempurna selama ini. Kita tidak mungkin mengubah begitu saja, filosofi yang sudah menjadi icon Rumah Bahagia!”
“Tapi, kita harus berkaca pada kenyataan, Will. Bahwa semua tidak sesempurna yang kita lihat selama ini. Jika kenyataan itu terkuak ke publik, apakah tidak akan merusak citra Rumah Bahagia?”
“Tapi sampai sekarang, semuanya baik-baik saja!”
“Ini untuk besok dan kelangsungan Rumah Bahagia, Wil. Kamu tahu, alasan Lia tidak pernah mau ke bagian Konseling? Karena filosofi Rumah Bahagia yang menganggunya. Kita seperti membuat sekat, bahwa hanya yang punya hidup sempurna, yang bisa ada di tempat ini.”
“Sekali aku bilang tidak, tetap tidak! Semua sudah berlangsung lama, jangan seenaknya diubah hanya karena perkataan Oskar dan Meta. Mereka itu belum lama di sini, mereka tidak tahu, bagaimana perjalanan Rumah Bahagia sampai hari ini!”
“Setidaknya kamu pikirkan kembali, Will.”
Pria itu, menggeleng.
Willy, Willy. Penyakitnya kambuh lagi, keras kepala!
Ponsel Willy menunjukkan kehadiran sebuah pesan singkat.
Lia: Mas Willy
Tersenyum. Perasaan Willy seketika bergetar, mendapati sapaan dari seseorang yang selalu dinantikannya.
Willy: Iya Li, kamu baik-baik saja?
Lia: Lia kurang sehat, Mas. Aku, Mey.
Willy: Oh Mbak Mey. Ada apa dengan Lia?
Lia: Bisa ke rumah sakit sekarang?
Willy: Aku segera ke sana.
Lia: Makasih, Mas Willy.
Tanpa pamit, Willy meninggalkan Viona.
“Mau ke mana, Will?” teriak Viona. Tapi pria itu tidak menjawab, berlalu begitu saja.
Di rumah sakit, Mey terus tersenyum melihat layar ponsel.
Semoga rencanaku berhasil. Tolong aku, ya Allah.
Di tengah lamunan, dia tak sadar mendapati nama Leo.
Mas, aku pun sangat merindukanmu.
Tiba-tiba, kerinduan itu menyerang. Matanya berkaca-kaca. Dipeluknya ponsel Lia yang ada ditangannya.
“Sayang, kamu jangan terlalu kecapaian ya? Biar ibu Tati saja yang mengerjakan semua pekerjaan rumah.”
“Mulai hari ini, kamu tidak boleh kerja lagi. Ingat kata dokter.”
“Meylani, Leo sangat mencintaimu.”
“Sayang, kamu enggak usah capai masak. Itu tidak penting untuk aku. Cukup kamu ada untuk aku. Jangan pernah tinggalkan aku.”
“Kamu tahu kan, Sayang? Aku akan seperti apa, kalau aku jauh dari kamu?”
Air mata itu seketika mengalir, membasahi wajahnya yang masih tampak lemah. Seluruh kalimat-kalimat cinta Leo, menghadirkan kerinduan yang semakin menjadi.
Ampuni aku ya Allah, jika aku melukai suami hamba. Aku sangat mencintainya. Jagalah dia untukku.
Suara ketukan pintu, mengagetkan. Mey mengeringkan pipinya yang basah.
Dia menoleh ke arah Camelia. Sahabatnya itu masih bergeming.
Camelia menutupi wajahnya dengan handuk. Satu-satunya benda yang dimilikinya, agar bisa menyembunyikan wajahnya.
Dengan suara masih lemah, Mey mencoba berteriak, “Silahkan masuk saja.”
Pintu lantas terbuka, terdengar langkah kaki.
Mey tiba-tiba terdiam, bibirnya terbuka sedikit. Kaget!
Dia mengalihkan pandangan menatap Lia, yang masih terbaring di sofa.
“Dengan siapa Bi?”
Mey keluar dari kekakuannya. Bibirnya bergetar. Terasa, jantungnya berdetak tak karuan.
“Sendiri!” Bilal kemudian menoleh ke arah sosok yang telentang di atas sofa.
Tapi, seketika dia memalingkan wajahnya, fokus pada Mey. Dia lantas duduk di samping tempat tidur Mey.
Mey mengatur napas. Dia merasa sangat gugup.
Ya Allah, entah mengapa aku sangat khawatir.
“Gimana kabar kamu Mey?”
“Sudah lebih baik.”
“Hasil pemeriksaan dokter, gimana?”
“Seperti biasa Bi. Aku harus terapi lagi.”
“Masih seperti yang dulu?”
“Iya.”
Suasana berubah jadi kaku. Bilal tampak kehabisan kalimat.
“Kabar kamu?” Mey memecah hening.
“Alhamdulillah baik, Mey.”
Giliran Mey, terdiam. Dia pun kehabisan topik.