Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta

Jane Lestari
Chapter #15

Bagian 15

Tiba di rumah sakit, Leo langsung ditangani di ruang unit gawat darurat. Bilal mendampingi Leo. Sedang Willy tampak berbicara dengan perawat di bagian administrasi.

"Maaf Mas, ini sudah aturan rumah sakit,” terdengar suara perawat, menjelaskan beberapa hal pada Willy.

“Mbak, aturan itu bisa disesuaikan dengan kondisi yang terjadi. Mbak jangan ngajari saya tentang aturan!”

“Iya, Mas.”

Wanita muda itu berusaha tenang, dengan suara Willy yang terdengar emosional.

“Jadi, bisa, kan?”

“Tidak bisa, Mas. Jika Mas berkenan turun ke kelas yang lebih rendah saja. Di sana, satu kamar bisa dua pasien.”

“Aku maunya di kamar ini! Berapa pun saya bayar!”

“Bukan masalah biaya, Mas. Ini sudah aturannya.”

“Aturan-aturan! Sejak tadi itu saja yang bisa kamu ucapkan!” suara Willy mulai menukik. Seluruh mata tertuju padanya. Rumah sakit yang hening berubah ricuh karenanya.

“Mas, maaf ini rumah sakit. Mohon lebih tenang,” pinta seorang pria berseragam.

“Pertemukan aku dengan Direktur rumah sakit ini!”

“Beliau tidak di tempat, Mas.”

“Hubungi!” gertak Willy.

Wanita itu tampak pucat. Sangat tertekan dengan sikap Willy yang sangat arogan.

Kedua wanita yang menghadapi Willy tampak bingung. Seorang pria lain, dokter, menghampiri.

“Iya, Mas. Ada apa?” tanyanya, ramah.

“Aku mau pasien ini dan ini, disatukan di kamar itu!”

“Aturannya tidak bisa, Mas.”

“Aturan-aturan! Mereka ini suami istri!”

“Tapi, kamarnya memang dirancang untuk satu pasien, Mas.”

“Semua bisa dikondisikan, selama itu tidak merugikan!” jawab Willy, masih dengan nada marah.

“Kalau kelas di bawahnya, Mas?”

Willy menggeleng tidak percaya.

“Oke. Aku terima ini. Tapi aku pastikan besok pagi, headline surat kabar, rumah sakit ini ditutup!”

Beberapa menit, terpaku. Dokter itu akhirnya memberi keputusan.

“Baik, Mas. Kami persiapkan kamarnya.”

“Dari tadi kek. Buang-buang energi saja!”

Willy pun berlalu begitu saja. Meninggalkan orang-orang yang sedari tadi tertekan oleh sikapnya.

“Dok?”

Salah satu wanita itu mencoba meminta penjelasan.

“Dia itu putra pemilik The Samudera. Masalah akan semakin panjang, jika kita berurusan dengan mereka.”

Tanpa di sadari Willy, Camelia ada dalam jarak yang tidak jauh dari tempat itu.

Camelia menatap tajam. Sorotan matanya menandakan kekecewaan yang sangat besar.

“Li—"

Camelia berbalik, dia enggan mendengarkan pria itu. Willy mengejar dan menghalangi jalannya.

“Ada apa lagi? Masih belum cukup?”

“Bukan begitu, Li.”

Camelia menggeleng.

“Aku pikir, Mas Willy itu sudah berubah. Ternyata kesombongan itu masih sama!”

“Ini untuk Leo dan Mey, Lia.”

Suaranya begitu lembut. Jauh dari suara penuh amarah yang beberapa menit lalu dia tunjukkan.

“Tapi, haruskah menunjukkan arogansi seperti itu? Haruskah melanggar aturan? Haruskah membuat kekacauan di sini?”

Willy terpaku.

“Aku kecewa, Mas!”

Wanita itu berlalu.

Willy menyesali sikapnya. Dia meninju dinding rumah sakit. “Aah, sialan!”

Tiba di kamar, Camelia langsung duduk.

Mey merasakan sesuatu yang berbeda.

“Li, ada apa?” Camelia tidak memberi jawaban. Kebisuan itu sudah membuat Mey paham.

Detik-detik terus menari, membawa terang berganti gulita.

Pukul delapan malam, Leo dipindahkan ke kamar yang sama dengan istrinya.

Mey menatap suaminya yang masih lelap. Kesedihan dan penyesalan terus saja hinggap, enggan berlalu.

“Bi, Leo gimana?”

“Enggak apa-apa Mey. Dia sedang istirahat. Dia selama dua hari ini tidak pernah tidur. Jarang makan. Makanya tubuhnya drop. Dokter memberikan sedikit obat tidur, agar dia bisa beristirahat.”

Mey meminta tempat tidurnya didekatkan ke suaminya. Dia ingin menggapai tangan pria yang sangat dicintainya.

Hening.

“Bi, kamu enggak balik?”

“Aku di sini saja menemani kalian.”

Mey berbalik menatap Camelia. Dia khawatir, sahabatnya itu akan terganggu dengan kehadiran Bilal. 

Camelia menjawab dengan anggukan, Mey sangat lega.

“Mas Willy ke mana, Li?”

Lihat selengkapnya