Suasana suram beberapa saat di rumah sakit, kini berganti hangat. Kehangatan cinta, ketulusan persahabatan kembali menjadi cahaya, setelah gelap yang menguasai.
Beberapa saat kemudian.
Sebuah langkah, membuat seluruh mata tertuju ke pintu.
Tersentak!
Mas Willy?
Kembali, Camelia, dikagetkan dengan kehadiran pria itu.
Bukannya, aku sudah mengabaikannya kemarin?
Camelia menggeleng tidak percaya.
“Mas Will, masuk,” sambut Mey. “Gimana kabar kalian berdua?” tanya Willy.
“Alhamdulillah sudah baik, Will. Oh ya btw, makasih ya sudah membantu Bilal ngurus aku.”
“Sebagai teman, ya memang harus begitu,” sahut Willy.
Camelia masih saja terpaku. Hatinya belum sepenuhnya move on dari sikap Willy kemarin.
“Oh ya, ini aku bawa makanan untuk sarapan.”
Mey tersenyum. Matanya tertuju pada ke-diam-an Camelia.
“Pastinya, bukan untuk aku dan Leo, kan?” tebak Mey.
Wajah Willy berubah, memerah. Dia menggaruk kepalanya.
“Li, kok diam saja? Tuh, Mas Will bawain sarapan.”
Camelia, tersenyum, terpaksa.
Dia menghela napas. “Makasih, Mas.”
Kembali, suasana menjadi canggung.
“Selamat pagi,” dokter dan perawat hadir, melakukan pemeriksaan rutin.
***
Rumah Bilal
“Mas, semalam ke mana?” tanya Linda, sesaat setelah Bilal membuka pintu. “Di rumah sakit!”
“Siapa yang sakit?”
“Leo dan Mey.”
“Kenapa gak ngabarin?”
“Penting untuk kamu?”
“Mas—“
“Sudahlah, aku mau istirahat dulu. Tolong, aku dibangunin jam delapan. Aku ada meeting!”
Bilal berlalu.
Dia mengabaikan istrinya yang masih terpaku, melihat sikap dinginnya.
“Bilal!” suara Rahmi, ibundanya menghentikan langkah Bilal.
“Mengapa sikap kamu seperti itu?!”
Bilal tak acuh. Dia menuju kamarnya. Ibundanya mengikuti.
“Ada apa lagi sih Bu?” kesal Bilal, saat ibunya mengikutinya sampai ke kamar.
“Ibu tidak suka, sikap kamu yang kasar seperti itu!”
“Ibu, tolong, aku kurang tidur, aku mau istirahat dulu.”
“Ibu tidak akan berhenti, sebelum kamu jawab pertanyaan Ibu. Kamu sebenarnya kenapa? Sebulan ini, kamu selalu bersikap kasar pada Linda dan pada kedua anakmu!”
Bilal menyeringai.
“Apa tidak cukup, aku sudah bersikap manis selama dua belas tahun ini, Bu? Tidak cukup?!” kalimat Bilal menukik. “Tapi, tidak sepantasnya kamu bersikap seperti itu. Kamu suka atau tidak, Linda itu istri kamu, sah!”
Bilal menggelengkan kepala.
“Ya, inilah kesialan aku, Bu!”
“Cukup! Ibu tidak mau lagi mendengar kalimat bodohmu itu!”
Rahmi meninggalkan kamar Bilal.
“Bulshitt!!!”
Emosi Bilal, tak lagi terbendung.
Lagi, seluruh perlengkapan rias berhamburan, setelah tangan Bilal memorak-porandakan benda-benda itu.
Niat hati ingin beristirahat, semuanya sirna. Dia hanya mengganti baju dan langsung meninggalkan rumah.
“Bilal sudah pergi?”
“Iya Bu. Kayaknya mas Bilal, sedang ada masalah.”
“Kamu yang sabar ya, Lin. Ibu kenal sekali dengan dia. Tak lama, dia akan kembali bersikap baik padamu dan anak-anak.”
Linda menarik bibirnya, tersenyum, namun jelas tidak sepenuhnya. Dia sadar posisinya. Dia paham perasaan Bilal.
***
Bilal memacu mobilnya dengan kecepatan maksimal. Dan, ternyata dia tidak menuju ke kantornya. Tapi…
“Bilal?!” Pria tua itu, tersentak dengan kehadiran Bilal di pagi hari.
Bilal berjalan tanpa suara. Dia mendaratkan tubuhnya pada kursi, tepat di hadapan pria tua itu.
Baba menatap Bilal. Dia melihat pria yang kembali lemah, terpuruk.
“Nak, ada apa?”
Baba memulai kalimatnya. Namun, Bilal tetap bergeming, menatap kosong.
Dia terus menatap, tak berkedip.
“Aku merasa jenuh, dengan semua ini. Aku merasa, kini, ada di ujung perjalananku! Aku bosan mengalah, aku bosan berpura-pura!”
Baba setia mendengar. Dialah yang paling mengenal Bilal. Satu-satunya yang tahu kondisi Bilal.
“Sejak mas Taufiq meninggal dunia, kehidupanku juga ikut mati! Lebih sepuluh tahun, aku seperti mayat hidup. Dia masih lebih baik, jelas-jelas meninggalkan dunia. Sedangkan aku, bernapas, tapi jiwa dan kehidupanku mati!”
Bilal masih menatap tanpa harapan. Matanya menyibak seluruh duka yang tak mampu dia ungkapkan. Luka yang terasa semakin pedih.
Bilal menarik napas panjang. Tampak, dia mulai bisa menguasai dirinya.
“Entah mengapa, Ba. Akhir-akhir ini, aku mulai tidak mampu mengontrol amarahku, pada Linda dan seluruh penghuni rumah itu. Bahkan pada ibuku sendiri.”
Jeda.
“Nak, terkhusus untuk ibumu. Apa pun yang terjadi, kamu wajib tetap bersikap santun, tidak ada alasan untuk itu.”
Bilal mengangguk. Lagi, Bilal menatap kosong.
“Kamu tidak ke kantor?” tanya Baba. “Sebentar lagi.”
“Kemarin, seorang wanita cantik datang ke sini,” lanjut Baba.
Bilal bergeming.
“Kamu tidak ingin tahu, siapa wanita itu?”
Bilal tidak menjawab.
“Wanita yang dulu, selalu menemanimu di sini!”
Raut muka Bilal berubah. Matanya berkaca-kaca. Seketika kesedihan itu, benar-benar menampakkan dirinya.
Dia menutup mata. Dan kenangan itu, terputar kembali.
“Bi, kamu suka cewek yang seperti apa sih?”
“Ehm, kayak kamu, mungkin,” jawab Bilal, terkekeh.
Wanita itu terdiam.
“Lho, kok, kamu malah diam?”
Tidak ada jawaban.