Mata Camelia berkaca-kaca. Rindu pada sang ibunda, tiba-tiba menyapa.
“Kak Lia baik-baik saja?”
“Iya, Mel. Kakak cuma tiba-tiba rindu banget sama ibu.”
Air matanya mengalir.
Kata ‘Ibu’, selalu saja mendatangkan kerinduan yang tak pernah ada habisnya.
“Melati hanya ingin Kak Lia tidak lagi sendiri. Pesan terakhir ibu, kita harus saling menjaga, Kak. Dan sekarang, sudah ada mas Hanan yang menjaga Melati. Giliran Kak Lia, menemukan seseorang. Ya, Kak?”
“Adikku, menikah bukan hanya mengangkat kesendirian. Harus ada kesempurnaan hati, untuk saling menerima di dalamnya.”
“Kak, Melati ingin mendengar kejujuran. Apakah Kakak belum menjauh dari perasaan pada kak Bilal?”
Jeda.
Kalimat Melati, kembali menguak rangkaian perjalanan kenangan, yang telah meninggalkan jejak luka.
“Adikku, Kakak sudah berada di hari ini. Masa lalu, hanyalah cerita kenangan. Bukan cerita nyata hari ini.”
“Jadi, apa alasan Kakak belum membuka hati?”
“Sekarang, Kakak baru berusaha ke jalur itu.”
“Aku hanya berharap satu hal, Kak. Kakakku segera menyudahi kesendiriannya. Sudah cukup, penantian dan kesabaran Kak Lia selama ini. Ya, Kak?”
“InsyaaAllah, Mel. Udah, ya. Kakak mau istirahat dulu.”
“Iya Kak. Assalamu’alaykum.”
“Wa’alaykumussalam,” sahut Camelia, mengakhiri percakapan.
Beberapa menit memperhatikan Willy, tak sadar, Camelia tertidur. Lelah itu, sangat nyata.
“Mas, pacarnya mbak Lia?” tanya Toni.
Willy menahan tawa. “Ehm, bukan Pak.”
“Terus, ngapain menunggu di sini? Kenapa gak pulang?”
“Mbak Lia lagi sakit. Saya khawatir, kalau meninggalkan dia sendiri.”
Pria tua itu tertawa. “Bukan pacar tapi perhatian begini. Atau baru pedekate?”
Pria itu masih saja terkekeh. Willy memasang muka keheranan.
Ada yang lucu?
“Bapak lihat, mbak Camelia itu sangat tertutup. Dia jarang keluar apartemen kecuali ke kantor.”
“Bapak sudah lama di sini?” tanya Willy.
“Iya, sebelum mbak Camelia pindah ke sini. Bapak sudah lima tahun tugas di sini.”
“Pak, boleh saya bertanya tentang Lia?”
“Untuk apa? Kamu kan bukan siapa-siapanya?”
“Saya teman kantornya, Pak.”
“Tapi kamu kenapa perhatian begini?”
Willy terpaku.
Apakah aku harus menjelaskan, aku sedang berjuang mendapatkan hati Lia?
“Kamu tidak usah jawab. Bapak ini sudah lama hidup. Gerik-gerik kamu ini sudah jelas.”
Willy tersenyum.
“Mbak Camelia itu di Jakarta hanya punya Melati, adiknya. Tapi sekarang adiknya sudah di Bandung.”
“Bapak kenal dengan adiknya juga?” Willy terkejut.
“Ya kenal sekali. Tiga tahun lebih mbak Lia di sini, Bapak banyak ngobrol dengan adiknya, bahkan setelah dia menikah. Dia selalu menghubungi Bapak menanyakan kondisi kakaknya.
“Bapak sangat dekat dengan mereka berdua, karena hati mereka baik sekali. Mereka selalu memperlakukan Bapak sangat baik. Benar kata orang, kamu tidak butuh dikenal. Cukup kebaikanmu yang membuatmu dikenal langit dan bumi.”
Willy terpesona dengan kalimat pak Toni.
“Tapi kalau Bapak lihat-lihat, kamu cocok sama mbak Camelia.”
Willy salah tingkah.
“Mbak Camelia memang butuh seseorang, seorang teman hidup. Bapak sering memperhatikan, dia hanya menghabiskan waktu di balkon itu,” pria itu menunjuk ke arah apartemen.
Asyik ngobrol dengan penjaga apartemen, Willy melihat jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang.
Saatnya makan siang! pikirnya.
“Pak, boleh saya bertanya lagi?”
“Iya, tanya saja.”
“Pak tahu enggak, makanan kesukaan mbak Camelia?”
“Tau!” jawab pria tua itu, singkat. “Boleh saya tau, Pak?”
Toni menatap tajam Willy. “Kamu bukan orang jahat, kan?”
Willy terkekeh. “Kok, Bapak malah ngomong gitu?”
“Dari tadi, kamu terus saja bertanya tentang mbak Camelia. Jangan sampai kamu ini seperti film-film itu.”
Lagi, Willy tertawa, sampai seluruh isi mulutnya terlihat.
“Astagfirullah. Masa tampang gini, orang jahat, Pak.”
“Ya siapa tau saja.”
Willy menghela napas. Dia benar-benar terhibur menghabiskan waktu dengan pria tua itu.
“Jadi Pak?”
“Jadi apanya?”
Willy kembali tertawa.
“Pak, makanan favorit mbak Lia.”
“Mbak Lia biasa membeli makanan online. Bapak yang sering mengantarkan ke apartemennya. Dan pasti, selalu dia bagi pada Bapak.”
“Jadi?”
Willy terus menunggu kesimpulan kalimat Toni. Sedari tadi, Willy belum mendapatkan jawaban pertanyaannya.
“Ya, tunggu. Kamu itu tidak sabaran ya.” Lagi, Willy tertawa.
“Iya Pak, maaf.”
“Mbak Lia itu suka sekali makan seblak.”
Willy terkejut. “Seblak?”
“Iya. Tapi kalau beliau beli, pasti sepaket dengan nasi. Nasi-nya itu diberikan ke Bapak.”
Seblak? Willy tersenyum. Seperti tidak percaya.
Makanan apa itu? pikirnya.
“Beliau sering beli seblak?”
“Iya, sering. Setiap kali dia beli online, pasti belinya seblak.”
Sejenak berpikir.
“Oh iya. Kok aku jadi bodoh begini!” ucap Willy, senang mendapatkan ide.
“Kamu kenapa?” Toni bingung dengan kalimat Willy.
“Enggak Pak. Saya permisi dulu Pak, mau nelpon.”
Willy menekan tombol pada ponselnya.
“Nan?”
“Iya, Mas Will.”
“Kamu bersama Melati, enggak?”