Rumah Bahagia
Willy kembali dengan wajah murung.
Aura penuh cinta, berubah menjadi kekecewaan. Viona langsung menuju ruangan Willy, setelah melihat pria itu melintas di depan ruangannya, seperti tidak bahagia.
Tiba di ruangannya, Willy langsung menghempaskan dirinya di kursi kebesarannya.
Dia membuka tirai jendela. Melihat kemacetan parah di sekitar kantornya.
“Will, kamu baik-baik saja?”
“Baik!” jawab Willy, singkat. Cara menjawab Willy menegaskan, hatinya tidak sedang baik-baik saja.
“Syukurlah. Oskar akan menemuimu melaporkan perkembangan kasus beberapa klien.”
“Aku menunggu sekarang!”
Viona mencoba meraba prahara Willy. Tapi, dia tidak ingin mencari masalah dengan banyak bicara. Dia pun segera memanggil Oskar.
Tak lama, dua anak muda, sudah ada di ruangan Willy.
“Maaf, Mas….” Oskar tidak melanjutkan kalimatnya. Dia menatap ke arah Viona, yang ada di hadapanya.
Willy tampak penasaran. Dia melipat kedua tangannya di dada.
Viona memberi intruksi.
Oskar mengangguk. “Mas, kami gagal untuk persoalan ibu Mayang!”
“Apa?!” Willy mengubah posisi duduknya. Dia tersentak dengan kalimat Oskar.
Dia berdiri, kembali melipat tangan, memegang dagu.
“Kami sudah mendapatkan laporan dari pengadilan agama, ibu Mayang sudah mengajukan gugatan cerai,” lanjut Oskar.
Willy masih terpaku. Sikap tak biasa ini justru membuat Viona semakin khawatir.
“Gagal?!” tatapan tajam Willy, tepat mengarah pada Oskar.
Oskar menunduk.
“Kamu kan tahu, Rumah Bahagia, tidak pernah mengenal kata ‘GAGAL’?!!!”
“Iya, Mas,” suara Oskar semakin lemah.
“Resikonya, kamu sudah tau, kan?”
“Iya, Mas.”
Viona semakin tidak tenang. “Will—“
“Ini urusanku dengan Oskar. Kamu tidak usah ikut campur!”
Viona menghela napas.
“Aku jadi heran. Kenapa kamu bisa bergabung di Rumah Bahagia, jika mengurus satu klien saja tidak becus!”
Oskar mengangkat wajahnya. Tampak, dia tidak bisa lagi terus bergeming.
“Kami sudah pernah menyampaikan ini sebelumya, Mas. Tapi, Mas Willy mengabaikan.”
“Wow! Kamu sudah hebat, ya. Berani membela diri di hadapan atasan!” Willy bertepuk tangan. Senyuman sinis, dia hadiahkan untuk Oskar.
Viona pucat. Dia bingung menempatkan dirinya.
“Kami sudah berjuang, Mas. Ini bukan masalah profesional lagi. Tapi takdir yang tidak bisa kami lawan.”
Lagi, Willy tersenyum pahit. Dia kembali duduk dan memainkan jari-jarinya, mengetuk meja.
“Mas, kami sudah pernah ingatkan. Kebahagiaan tidak selamanya ada, dalam kebersamaan. Kadang, berpisah menjadi jalan bahagia terakhir.”
Oskar terus berusaha meyakinkan Willy.
“Jadi, kamu sekarang merasa lebih pintar,dan tahu semua tentang Rumah Bahagia, dibanding aku?”
“Tidak, Mas.”
“Aku jadi curiga, nilai cumlaude-mu kemarin itu, hanya rekayasa!”
Oskar membelalak.
“Mas, jaga ucapannya!” suara Oskar mulai meninggi.
“So, berarti benar?!”
Oskar berdiri dan mencekik leher Willy. Emosi menguasainya.
“Oskar… Oskar…, tolong jangan seperti ini!” Viona berteriak, tidak bisa lagi bertahan melihat ketegangan di ruangan itu.
Willy justru terus tertawa.
“Lanjutkan saja, anak muda! Kamu jelas akan berakhir di penjara! Berengsek!!!”
Willy mendaratkan pukulan sangat keras ke wajah Oskar.
Jatuh!
Oskar mendarat di lantai. Tak lama dia langsung berdiri dan membalas pukulan Willy.