Lia menarik napas.
Entah bagaimana lagi dia bisa menghadapi pria itu. Dia sadar, Willy pria yang baik. Jiwa keras dan karakter pemimpin dalam dirinya menciptakan keengganan menerima kegagalan. Sebuah bantahan dianggap menodai harga dirinya.
Suasana menjadi hening.
“Apa yang bisa aku lakukan, agar Mas Will memaafkan Oskar, sehingga mbak Viona bisa bertahan?”
Camelia benar-benar tidak memiliki cara lain. Dia tidak bisa tanpa Viona. Dan berat baginya, melihat Oskar dikorbankan hanya untuk memenuhi keegoisan Willy.
“Terima lamaranku!”
Tersentak!
Jantung Camelia serasa berhenti berdetak. Permintaan yang sungguh keterlaluan.
Katanya profesional? Pria munafik! ujar Lia, dalam hati. Dia mulai merasa dongkol dengan sikap tidak adil Willy.
“Bukankah Mas Will sendiri yang bilang, profesionalisme?”
“Ya terserah kamu saja. Mau atau tidak!”
Ya Allah, pria ini!
“Aku menerima dengan satu syarat!” tawar Lia.
Willy tertawa.
Camelia heran. Kenapa lagi?
“Oke. Syarat apa?”
“Mas Will melepaskan Rumah Bahagia. Aku tidak bisa mencampur-adukkan hubungan kerja dengan masalah pribadi.”
Giliran Willy yang terkejut. Wajahnya berubah datar.
Terdiam sejenak.
Pria itu tampak terpengaruh ucapan Camelia.
“Kalau Viona bersedia menggantikan aku, oke, aku kembali ke Sam Firm.”
Ya Allah, pria ini…
Camelia menarik napas panjang.
“Lho, kenapa malah diam? Sesuai permintaan kamu, kan?”
Camelia masih terpaku. Seperti ada beban yang kembali mendaki di pundaknya.
“Kamu takut, menikah denganku?” tanya Willy, lantas kembali membelakangi Camelia.
“Kamu tahu Lia, cinta bisa membuat siapa pun gila,” lanjutnya.
Camelia tidak menjawab. Beberapa detik terpaku, dia pamit, “Aku ke ruanganku dulu, Mas Will.”
“Jangan lupa, aku tunggu jawabanmu.”
“Baik!”
Camelia berlalu.
Willy berbalik dan menatap langkah wanita itu, yang semakin menjauh darinya.
“Memang benar, hanya cara ini, yang bisa menaklukkanmu, Camelia Zenia!” ujar Willy.
Senyumannya terbit, senyuman kemenangan.
Kembali ke ruangannya, Camelia singgah di tempat Viona. Dia tidak lagi menemukan keberadaan wanita itu.
“Kikan, mbak Viona ke mana?”
“Ke basement Mbak, menyusun beberapa barang di mobilnya.”
“Apa? Memangnya mbak Viona benar-benar akan pergi?”
“Hari ini katanya cuma beres-beres dulu, Mbak. Besok atau lusa baru pamit.”
“Astagfirullah. Oke Ki, aku ke ruangan dulu.”
Lagi, kondisi yang sama. Dia ingin segera menemui Viona, namun dia terhenti, saat Via terlihat mendekatinya,
“Vi, ada apa?”
“Mbak Lia, ada klien baru. Dia ingin ditangani langsung oleh Mbak.”
“Aku masih punya beberapa jadwal. Alihkan saja ke Meta!”
“Klien-nya, hanya mau dengan Mbak Lia.”
Camelia bermenung. Sejenak berpikir. “Baiklah. Sekarang, aku kosong sampai dua jam ke depan.”
“Baik, Mbak.”
Via pun berlalu.
Ya Allah semoga masalah mbak Viona, bisa kuselesaikan setelah ini.
Camelia segera menghabiskan kopi-nya yang tadi belum sempat dia cicipi. Tampak seorang wanita seusianya, berjalan bersama Via, menuju ke ruangannya.
“Selamat pagi,” sapa Camelia, menyambut klien tersebut.
“Pagi, Mbak,” sahut wanita itu.
Via pun meninggalkan ruangan Camelia
“Silahkan duduk Mbak, selamat datang di Ruang Dengar,” sambut Lia dengan ramah.
Wanita itu pun, duduk.