Dalam perjalanan menuju apartemen, Camelia hanya terpaku, menatap kosong ke arah spion.
Willy sesekali menoleh ke arah wanita itu.
“Lia?” suara Willy membuat Camelia terjaga.
“Iya Mas Will?”
“Aku mau ngajak makan malam, bisa?”
Camelia melihat jam di tangannya.
“Ini sudah jam lima sore, Mas. Kita akan dapat magrib di jalan.”
“Aku punya tempat yang bersih dan punya musala yang nyaman. Sekalian makan malam di sana.”
“Oke, Mas Will.”
Willy kembali tersenyum mendengar persetujuan wanita pujaannya.
Lalu lintas tampak sibuk sore menjelang magrib. Membuat perjalanan Camelia dan Willy sedikit terhambat.
Azan magrib berkumandang, membuat Willy mengubah rute, mencari masjid terdekat.
“Li, kita salat di sini saja ya, sebelum lanjut ke restoran.”
“Oke.”
Camelia turun dari mobil, menuju area tempat wudhu wanita.
Beberapa saat berlalu, dia berjalan menapaki teras masjid yang sangat lapang menuju titik pusat tempat salat.
“Mbak Camelia!” sebuah suara tiba-tiba mengangetkan. Camelia menoleh, “Mbak Linda?”
“Iya. Kebetulan banget bertemu di sini, ya.”
Camelia tersenyum. Dia terus melanjutkan langkah, diikuti wanita itu.
“Mbak Lia sendiri saja?”
“Bersama teman, Mbak.”
“Oh iya.”
“Mbak Linda, sendiri?”
“Bareng suami, Mbak.”
Keduanya mengambil mukenah di almari yang telah disediakan oleh masjid.
Obrolan berhenti.
Mereka lantas menunaikan salat magrib secara berjamaah bersama puluhan jamaah yang lain. Suasana hening dan khidmat selalu saja hadir, ketika pertemuan dengan Sang Penguasa Langit.
Tempat semua doa jutaaan manusia tertuju. Tujuan semua harapan bermuara.
***
Sekitar dua puluh menit, Willy dan Camelia kembali bertemu di parkiran.
“Kita lanjut ke restoran ya.”
“Baik, Mas.”
Keduanya naik ke atas mobil. Dalam perjalanan antrian menuju pintu keluar, tatapan Camelia tertarik ke arah Linda bersama seorang pria, bersiap naik ke atas mobil.
Linda? Nama wanita itu seperti sangat kukenal. Tapi siapa? Di mana aku pernah mengenalnya?
“Lia.”
Willy kembali membuat Lia tersentak. “Iya!”
“Kamu baik-baik saja?”
“Baik, Mas.”
“Kamu gak keberatan, kan, aku ajak makan malam?”
Camelia tersenyum. “Kok Mas Willy berpikir seperti itu?”
“Aku gak akan tenang, kalau kamu ternyata gak nyaman.”
Pria ini benar-benar berubah. Aku merasakan hatinya begitu tulus, batin Lia.
“Semua baik-baik saja, Mas Will.”
“Syukurlah.”
Willy kembali fokus pada kendaraannya.
Mereka akhirnya keluar dari kepadatan kendaraan di sekitar masjid.
Tak lama, mereka sudah tiba di Henshin, The Westin.
Senyuman manis kembali terukir dari wajah Camelia. Aura bahagia sangat jelas di wajahnya. Tak menyangka, Willy akan membawanya ke salah satu tempat terindah yang pernah dia datangi.
Dia menoleh ke arah Willy. Dia kembali menghadiahkan senyuman untuk pria itu.
Ya Allah, senyuman wanita ini membuatku selalu saja hanyut. Aku rela melakukan apa pun, demi mendapatkan senyuman ini.
“Ayo, kita masuk,” ajak Willy.
Camelia mengikuti langkah Willy.
Lift terhenti di lantai enam puluh delapan.
Camelia sedikit terkejut melihat suasana tempat itu, sangat sepi. Hanya ada sebuah meja besar di tengah.
“Kok sepi banget ya, Mas Will?”
Willy tidak menjawab, dia malah tersenyum.