Hari baru. Pukul sembilan pagi, seorang wanita sudah menunggu di ruangan Camelia.
Kikan menuju pantry dan mendapati Lia sedang menyeduh segelas kopi.
“Mbak, pagi banget tamunya datang?”
“Tamu?”
“Iya, itu di ruangan Mbak.”
“Oh iya? Mbak belum lihat.”
“Wanita itu cantik banget, Mbak. Kok datang ke Rumah Bahagia ya? Apakah dia juga tidak bahagia dengan pernikahannya?”
Lia tidak menjawab. Dia hanya tersenyum, sambil mengaduk kopi hitam yang terus mengeluarkan kepulan asap.
“Benar-benar ya Mbak. Tidak pernah ada yang bisa memastikan kebahagiaan. Wanita yang sempurna seperti wanita itu, pun, masih menemui masalah dalam pernikahan.”
“Itulah kehidupan. Kita sudah diciptakan dengan perjalanan masing-masing. Jadi, mudah atau sulitnya hidup, tidak ditentukan oleh cantik tidaknya seseorang. Tapi karena Tuhan menganggap, bahwa itulah yang terbaik untuk menjadikan kita lebih baik.”
Kikan tersenyum lebar.
“Memang ya, beda banget kalau udah Mbak Lia yang mengeluarkan pendapat.”
“Sudah, sudah. Aku duluan, ya.”
Lia meninggalkan Kikan, yang masih tersenyum sendiri.
“Eh, ngapain senyum-senyum?” Via tiba-tiba hadir, membuat Kikan tersentak.
“Astagfirullah, kamu dari mana? Kok tiba-tiba ada di sini?”
“Aku kan dari tadi di sini. Di belakang membuat sarapan.”
Kikan duduk di hadapan Via.
“Vi, benar ya, mbak Lia jadian sama mas Willy?”
“Emang kenapa?”
“Kok bisa, ya?”
“Maksud kamu?”
“Ya, seperti gak cocok saja sih.”
“Huss!” Via meletakkan jarinya di mulut, saat melihat sosok Willy berjalan menuju arah mereka.
“Selamat pagi,” ucap Willy.
“Selamat pagi, Mas,” sahut Via dan Kikan, serentak.
Willy tampak mengambil segelas air hangat. Tak lama dia berlalu.
“Tumben banget ramah begitu?” lanjut Kikan.
“Kamu ya. Banyak banget maunya. Orangnya sudah lebih baik, masih dikomentari juga.”
“Aku cuma heran, Vi.”
“Sudahlah. Kita doakan yang terbaik untuk mbak Lia dan mas Willy saja.”
“Iya, semoga Rumah Bahagia jadi lebih damai, dan bahagia.”
“Amin.”
***
Suasana ruangan Camelia kembali serius.
Lia sudah kembali duduk di tempatnya, seraya menunggu wanita di hadapannya, memulai kalimatnya.
“Silahkan Mbak Linda, kita melanjutkan sesi yang terhenti kemarin,” ujar Lia. “Baik Mbak.”
Sejenang, hening.
Linda melanjutkan, “Perjalanan pernikahan kami, ya memang tidak normal seperti umumnya, Mbak. Saya sedari awal sudah tahu bahwa dia mencintai orang lain, tapi takdir tidak bisa kami lawan.”
Lia kembali tersentak dengan kalimat terakhir itu.
“Kami menikah karena takdir yang memilih. Sampai akhirnya dua belas tahun berlalu. Saya merasa, sudah saatnya melepasnya bersama kebahagiaannya.”
Linda terdiam.
“Selesai?” tanya Lia, heran.
“Iya, Mbak, hanya itu cerita dari saya.”
“Ehm, maaf Mbak Linda. Jadi sebenarnya masalahnya, di mana? Konflik rumah tangga?”
“Tidak ada Mbak. Semua berjalan biasa saja. Secara status pernikahan kami aman-aman saja.”
“Maksudnya?”
Lia dibuat bingung oleh pernyataan Linda, yang semakin tidak jelas arahnya.
“Kami berhasil melalui dua belas tahun ini tanpa pertengkaran.”
Lia semakin bingung.
“Jadi tujuannya ke Rumah Bahagia?”
“Ingin memastikan keputusan saya benar, Mbak.”
Lia menghela napas. Dia seperti sedang bermain teka-teki. Dia semakin bingung, alasan sebenarnya wanita ini ingin berpisah dari suaminya.
“Saya memutuskan ingin berpisah karena ingin melepaskan penjara yang selama ini mengikatnya.”
“Mbak tidak lagi mencintainya?”
“Saya sekarang sangat mencintainya, lebih dari sejak pertama kali mengenalnya.”
Lia kembali, menarik napas panjang. Kasus ini benar-benar hal aneh buatnya.
“Jadi, keputusan melepaskan adalah pembuktian ketulusan cinta yang sebenarnya?” tanya Lia.
“Iya!”
“Terus anak-anak? Tidak menjadi pertimbangan?” lanjut Lia.
Linda kembali tersenyum. “Anak-anak bukan menjadi tanggung jawabnya, Mbak. Dia sudah cukup membagi hatinya yang patah selama dua belas tahun ini untukku dan anak-anakku.”
Ya Allah, mengapa cerita ini semakin membuatku bingung.
Bel berbunyi. Penanda sesi Ruang Dengar berakhir.
“Mbak, sesi pagi ini berakhir,” ucap Lia memastikan.
“Saya masih bisa melanjutkan sesi ini, besok, Mbak?”
“Sebenarnya sesi berikutnya di Ruang Konsul bersama Mbak Viona.”
“Apa boleh saya meminta, khusus untuk masalah saya, Mbak Camelia yang menangani sampai akhir?”
Lia terkejut.
Dia sama sekali belum pernah menangani klien sampai tahap akhir. Tapi dia tidak mungkin menolak.
Dengan sedikit keraguan, Lia menjawab, “Baik, Mbak. Jika itu bisa membantu.”