Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta

Jane Lestari
Chapter #22

Bagian 22

Belum jauh, mobil itu memasuki sebuah pom bensin.

“Li, aku isi bensin dulu ya?”

“Iya, Mas.”

Mobil Willy akhirnya masuk ke dalam antrian yang cukup panjang sore itu.

Sebuah mobil menarik perhatian Lia.

Bukannya itu Bilal? Kok mobilnya seperti mobil Linda tempo hari? Lia membatin.

“Lia, mau singgah di mini market?”

Lia kaget. “Iya Mas, boleh!”

Ingatan akan cerita Linda kembali membawanya dalam lamunan.

Dia mengetahui bahwa suaminya menyukai wanita lain? Dia menikah karena takdir? Ya Allah, mengapa cerita wanita itu seperti membawaku ke masa lalu? batin Lia.


“Hei, kamu ke mana saja?”

“Kamu rindu, ya?”

Pria muda itu malah tertawa lebar.

“Kok malah tertawa gitu? Tinggal jawab saja, ya kan?”

“Ehm, ya bisa dibilang begitu. Memangnya sepekan ini kamu ke mana?”

“Ibu kurang sehat, jadi aku jagaian di rumah sakit.”

“Kok gak ngabarin?”

“Gak mau ganggu ujian kamu, Bi!”

“Aku kok merasa, sedikit kehilangan kamu sepekan ini?”

Giliran Lia yang tertawa terbahak-bahak. “Tuh kan. Akhirnya jujur juga!”

“Aku kehilangan teman gila, ya kamu!”

“Ha? Gila? Maaf ya Bi. Untuk ini, mungkin hanya kamu aja yang gila.”

Bilal tiba-tiba merangkul Lia yang sangat dekat di sampingnya. Lia langsung menarik diri. “Apa sih?!”

“Ehm, jaim banget sih kamu?”

“Aku gak suka Bi!”

“Oke, oke. Inilah yang aku kangenin sama kamu Li. Jujur!”

Lia kembali tertawa. “Kan masih ada Leo dengan Mey. Emang mereka ke mana?”

“Kamu kayak gak tau mereka saja. Mana mau mereka nongkrong kayak gini di sini.”


“Lia?!” suara Willy kembali membangunkan Lia. “Astagfirullah,” ucap Lia, kaget. “Iya Mas.”

“Ini, kita sudah di mini market. Kamu mau beli sesuatu?”

“Aku nitip air mineral saja.”

“Oke.”

Willy turun dari mobil meninggalkan Lia yang masih bersama lamunanya.

Ah, kenangan. Jujur aku sangat merindukan itu semua. Kebahagiaan yang mungkin tidak akan kembali.


“Mas Willy gak beli sesuatu?”

Lia heran dengan kelakuan Willy. Dia hanya membawa sebotol air mineral.

“Gak Li. Aku gak ingin apa-apa. Cukup kamu ada!” Lagi, Willy selalu saja membuat Lia salah tingkah. Lia hanya tersenyum. Mobil pun melaju.

Perjalanan terasa singkat dengan jalanan yang sedikit sepi menjelang magrib. Willy hanya menurunkan Lia di apartemennya. Dia langsung meneruskan perjalanannya kembali ke rumah.

Perjalanan waktu tidak pernah bisa diperlambat. Ia akan terus berjalan sesuai perintah Pemiliknya. Rasa lelah akan selalu hadir dalam jiwa yang terus berusaha menemukan kebahagiaan. Lelah hanya akan berganti lega, saat dia telah sampai di ujung perjalanannya.

***

Tiba di rumah, Willy diberi kejutan dengan kehadiran seseorang yang telah lama tidak ditemuinya. Wanita itu sedang berbicara serius dengan Herman dan Puspa, ke dua orangtuanya

“Itu Willy sudah datang,” ucap Puspa, menyambut Willy yang muncul dari pintu.

Willy hanya merespons datar, tanpa senyuman. Matanya sedikit menyimpan kesan tidak nyaman dengan kehadiran wanita itu.

Dia lantas langsung duduk di sudut sofa panjang.

“Kamu dari mana saja? Friska sudah menunggu kamu sejak tadi sore!” lanjut Herman, ayah Willy. “Memangnya ada urusan apa lagi denganku?!” tanya Willy, sinis.

“Kalian sebaiknya bicara berdua.”

Herman dan istrinya, meninggalkan ruang tamu yang sangat besar itu.

Friska mendekat ke Willy. Tapi, Willy menghindar. Dia menjauh dari posisi wanita itu.

“Will, aku minta maaf!”

“Sudah, cukup! Ngapain kamu dekat-dekat. Najis, aku dekat dengan wanita berengsek seperti kamu!”

“Will, tolong jangan ucapkan hal itu lagi. Aku sudah berubah Will, maafkan aku!” ucap Friska. Matanya berkaca-kaca, memohon pada Willy.

Willy menyeringai tidak percaya.

“Kamu mau apa? Langsung saja! Jangan buang waktuku!”

“Will tolong maafkan aku. Aku sangat mencintaimu Willy, sampai sekarang!”

Lagi, Willy tersenyum muak.

“Aku capai, aku tidak ingin melihat muka sok sucimu itu lagi!”

Friska lantas berlutut di hadapan Willy. Pria itu hanya diam memperhatikan.

Please, Willy maafkan aku. Semua hanya salah paham. Kamu bahkan tidak memberiku kesempatan menjelaskan semuanya saat itu.”

Willy terus saja diam dengan wajah tidak percaya.

Lihat selengkapnya