Lia tersentak.
Cerita tentang kehilangan, selalu juga menghadirkan kepiluan yang sama besarnya. Dia berhenti menulis. Dia fokus menatap Linda, yang terlihat mulai larut dalam kesedihan.
Ya Allah, aku tidak menyangka wanita ini menyimpan cerita duka yang amat dalam.
“Musibah yang seketika menghancurkan semua impian keluarga kecil kami, Mbak.”
Air mata Lia, mulai perlahan menunjukkan dirinya. Dia tidak bisa menahan kesedihan.
“Saat itu, saya benar-benar hancur Mbak. Hati ini kehilangan harapan. Saya sangat terpukul, dan nyaris kehilangan bayi saya. Saya menyaksikan duka yang sama dalam keluarga mas Taufiq. Ibu mertua, sangat kehilangan suaminya. Rumah yang penuh kebahagiaan, seketika berubah jadi tanpa kehidupan.”
Lia mulai menghapus bulir-bulir yang membasahi pipinya.
“Kehidupan kami kehilangan tujuan. Sampai akhirnya, orangtua saya datang menemui ibu mertua. Meminta kejelasan saya, yang sebentar lagi akan melahirkan. Orangtua saya, akan mengambil saya kembali jika ibu mertua tidak bisa memastikan kehidupan saya selanjutnya.”
Linda menghela napas. Setiap kalimat yang diucapkannya terasa menyesakkan.
“Akhirnya takdir itu dimulai. Ibu mertua meminta suami saya saat ini, yaitu adik mas Taufiq untuk menikahi saya. Dia sebenarnya sangat menentang permintaan ibunya. Namun, karena tidak ingin menyakiti hati ibu, dia terpaksa menerima pernikahan kami.”
Lia membelalak.
Dia sangat terkejut dengan arah cerita Linda. Kisah yang sulit diterima olehnya. Takdir yang sangat rumit.
“Saya pun sangat terluka saat itu. Saat saya melihatnya menangisi sebuah surat sebelum merobeknya. Saya tidak tahu, itu surat apa. Tapi yang aku yakini, dia punya seseorang di hatinya.
“Tapi, demi anak-anak, kami harus terus melangkah. Ibu mertua tidak ingin kehilangan menantu sekaligus cucu-cucunya. Saya melahirkan anak kembar yang sangat lucu. Kebahagiaan itu akhirnya bisa terbit kembali di rumah kami. Namun, cahaya itu tidak pernah hadir di wajah suami saya, Mbak.”
Lia terpaku. Dia kehilangan kalimat. Terlalu banyak hati yang terluka.
“Mbak Linda, sangat kuat ya?” ucap Lia, dengan suara bergetar.
“Saya harus kuat demi anak-anak, Mbak.”
Ketegaran Linda akhirnya runtuh. Air mata itu mengalir deras. Keluar bersama kesedihannya yang mendalam.
Lia memberikan tisu.
Dia pun menghapus bulir air mata yang sedari tadi tak berhenti menyapanya.
Keheningan menguasai ruangan itu. Lia memberikan jeda pada Linda, untuk menenangkan diri.
Takdir, bukanlah sebuah pilihah! Tapi, jalan yang wajib ditempuh, Lia membatin.
“Dua belas tahun ini, dia memperlakukan saya dan anak-anak dengan sangat baik. Perlakuannya yang begitu sabar dan mengabaikan perasaannya sendiri, membuat saya perlahan jatuh hati padanya. Sekarang, saya benar-benar jatuh cinta padanya.”
Lia kembali terpaku.
Dia menatap dalam, wanita itu. Kata-katanya begitu jujur. Matanya menampakkannya sangat jelas.
“Tapi beberapa bulan ini, dia tampak tak bisa lagi bertahan dalam ruang gelap yang selama ini mengekangnya. Dia bukan lagi pria yang sabar seperti dua belas tahun sebelumnya. Dia mulai terbuka menujukkan rasa jenuh atas kehidupannya.”
Linda kembali menghela napas. Kemudian melanjutkan, “Saya akhirnya sadar, bahwa inilah waktu untuk melepaskan ikatannya. Saya pun ikut tersiksa, melihatnya terluka dengan takdir ini.”
Lia masih bungkam.
“Sudah saatnya saya melepaskan dia, bersama dengan kebahagiaan yang selama ini kami renggut darinya. Itu perjalanan takdir kami, Mbak. Dan saya memutuskan untuk mundur dan membiarkannya pergi bersama dengan cinta yang selama ini kami jauhkan darinya.”
“Cinta Mbak Linda?” tanya Lia.
“Pembuktian cinta adalah mengikhlaskan. Ikhlas untuk bersama, atau ikhlas untuk melepaskan. Apalagi saya tahu, bahwa dia sudah bertahan begitu lama mengorbankan dirinya, demi menjaga kebahagiaan keluarga kami. Saatnya, saya melakukan hal yang sama.”
Lia menghela napas dalam, kemudian meneguk sisa-sisa kopi yang masih ada di gelasnya. Dia tampak berpikir.
“Rumah Bahagia di sini, hanya berfungsi sebagai rumah untuk hati yang sedang gundah dan bingung menempuh sebuah keputusan. Saya tidak bisa menilai apa pun, karena sepenuhnya Mbak Linda yang merasakan.
"Tapi, sesuai tugas saya, untuk masalah ini, saya tidak bisa memberikan keputusan. Saya tidak bisa memberikan rekomendasi setuju, karena ada hati yang terluka. Saya tidak bisa menolak, karena pun ada yang akan terluka.”
Lia mengambil jeda dan melanjutkan, “Apa yang membuat Mbak Linda nyaman, dan baik untuk mental anak-anak, itu pilihan terbaik. Bukan tentang kebahagiaan siapa, tapi untuk kebaikan semuanya.”
Linda tersenyum.
“Terima kasih Mbak Lia. Saya merasa sangat bahagia dan begitu yakin sekarang. Bahwa menerima kenyataan adalah pilihan terbaik. Karena sebuah hubungan dalam keterpaksaan, sampai kapan pun tidak akan menghadirkan bahagia.”
Sesi itu pun berakhir. Linda meninggalkan ruangan Camelia.
Lia, lantas menyandarkan diri pada sandaran kursi. Lelah itu begitu terasa, mendengar seluruh perjalanan hidup kliennya itu.
Dalam keheningan, Viona datang membangunkan Lia dari tidur singkatnya. Dia tidak sadar, dia sempat tertidur.
Viona datang bersama buket bunga besar, yang menutupi wajahnya.
Lia tampak bingung. “Mbak Viona?”
Viona meletakkan bunga itu di atas meja.
“Bunga untuk siapa Mbak?” tanya Lia. “Mbak bacain ya. ‘Just for you, my heart, Camelia Zenia’.”
Lia masih tidak mengerti.
“Kok kamu malah bingung begitu?” ujar Viona.
“Iya Mbak. Saya gak pernah mesan ini!”
“Ya Allah Lia. Kamu ini memang tidak mengerti atau pura-pura bloon?”