Pagi menjemput.
Melati tampak lelah. Dia kelihatan tidak tidur dengan baik semalam.
Tepat pukul tujuh pagi, Meylani sudah ada di apartemen. Keduanya jelas panik, akan reaksi Lia atas apa yang mereka sembunyikan.
“Silahkan kalian ceritakan, apa yang seharusnya sejak dulu sudah aku dengarkan!”
Melati dan Meylani saling bertatapan. Mereka bingung memulai segalanya. Kemarahan Lia, sudah jelas hadir di matanya.
“Kok, malah diam?! Apa bagi kalian, aku tidak lagi penting?!”
“Tidak begitu Li—“
“Silahkan Mey!” sambung Lia, sinis.
Meylani menarik napas panjang. Dia memberi isyarat pada Melati, bahwa dia yang akan menceritakan segalanya.
“Sebulan lalu saat aku dan mas Leo ke Bandung, aku singgah di rumah Melati. Setelah beberapa jam di sana, kami kedatangan tamu, istri Bilal.”
Meylani terdiam.
Lidahnya seperti terikat, begitu berat melanjutkan kalimatnya. Lia mengangkat wajahnya, menatap tajam.
Meylani sadar tatapan itu. Dia berusaha menguatkan diri, dan melanjutkan, “Saat itu, dia memang mengunjungi Melati, karena ingin menyampaikan semua kebenaran tentang pernikahannya dengan Bilal.”
Jeda.
“Dia menceritakan semua perjalanannya bersama Bilal selama dua belas tahun ini….” Meylani semakin berat melanjutkan kalimatnya.
Melati memegang tangan Meylani, meminta izin melanjutkan.
“Bahwa Kak Bilal tidak pernah mencintai istrinya. Tapi mencintai Kak Lia!”
Lia menarik napas, menutup mata. Beberapa detik kemudian, dia berlalu menuju kamar.
“Ada apa, Mel?”
“Entah Kak. Aku juga bingung. Kak Lia tidak marah, malah diam begitu. Kalau seperti ini, aku malah semakin takut.”
“Apa pun yang terjadi, kita harus hadapi, Mel. Semua kita lakukan hanya demi kebahagiaan Lia. Semoga semua akan lebih baik.”
“Iya Kak Mey, insyaAllah.”
Meylani akhirnya pamit.
Melati lantas sibuk mempersiapkan makan siang untuk kakaknya, yang belum juga keluar dari kamar.
Telepon Melati berdering. Tampak telepon dari Willy.
“Mel, kak Lia di mana?”
“Di apartemen, Mas.”
“Mas nelepon dari tadi, gak diangkat. Semua baik-baik saja, kan?”
“Iya Mas. Kayaknya kak Lia lagi istirahat.”
“Syukurlah. Kabari Mas, kalau ada apa- apa, ya?”
“Iya, Mas Willy.”
Pria itu mengakhiri percakapan.
Mana mungkin, aku mengatakan kejadian yang sebenarnya? Masalah akan semakin rumit. Ya Allah, apa yang akan terjadi dengan hubungan mereka? batin Melati.
Waktu terus berjalan.
Jam menunjukkan pukul tiga sore, Lia belum juga keluar dari kamarnya.
Melati takut mengetuk atau memanggil kakaknya. Dia sangat yakin, kakaknya begitu kecewa padanya. Sampai satu kalimat pun, tidak lagi terucap dari bibir Lia.
Menjelang malam, Melati mulai panik. Dia menelepon Meylani.
“Kak, kak Lia belum keluar dari kamar.”
“Sejak pagi tadi?” tanya Mey, juga terdengar sangat khawatir.
“Iya Kak. Kak Lia tidak makan, tidak minum. Aku takut sekali mengetuk pintunya.”
“Oke. Kak Mey sekarang ke sana bersama kak Leo.”
“Iya Kak, aku tunggu!”
Melati semakin gelisah. Dia terus menatap pintu kamar kakaknya. Dia mencoba menempelkan telinganya di pintu. Tapi, keheningan benar-benar hadir di ruangan itu.
“Ya Allah, apakah Kak Lia baik-baik saja?” ucapnya, terus mondar mandir.
Yumna seperti melihat keanehan dengan tingkah ibunya. Anak kecil itu lebih tenang bersama boneka kesayangannya.
Tiga puluh menit berlalu, bel apartemen terdengar. Dengan sigap Melati langsung berlari membuka.
“Bagaimana kak Lia?” ucap Mey, memasuki apartemen.