Dua hari berlalu, Lia sudah kembali ke apartemen. Namun, belum sejam, sebuah kabar buruk tiba-tiba menciptakan duka yang begitu dalam.
Kabar kematian Baba, membuat Lia langsung mengganti pakaian dan bersama Leo, Meylani menuju pemakaman. Tidak ada kalimat yang tercipta. Hanya tatapan kesedihan yang mengantarkan ketiganya ke lokasi pemakaman.
Suasana pemakaman Baba menyiratkan duka yang begitu besar. Dia sosok yang sangat dikenal oleh seluruh mahasiswa. Terlihat banyak hati yang patah dengan kematian pria yang ramah dan baik hati itu.
Di antara keramaian para pelayat, tampak Bilal dan Camelia yang berdiri sedikit berjarak, di antara Leo dan Meylani. Ke empat sahabat ini, tidak bisa melupakan kehadiran Baba dalam perjalanan mereka, saat masih di kampus. Pria tua itu, sudah seperti orangtua bagi mereka.
Sesaat setelah pemakaman selesai, Mey dan Leo pamit pulang lebih awal. Tinggallah Lia dan Bilal yang masih berdiri di samping pusara Baba. Mereka berdiri saling berhadapan, namun tak saling sapa.
Lia berbalik dan berjalan. Bilal tampak mengikuti.
Baba dimakamkan tak jauh dari kios kecil di belakang kampus, yang sudah menjadi rumahnya, berpuluh tahun.
Lia tampak berjalan menuju kios kecil itu dan duduk di tempat biasa yang dulu dia selalu datangi.
Tanpa dia sadari, ternyata Bilal turut duduk tepat di sampingnya. Sekian detik, barulah Lia menoleh, dan menyadari kehadiran pria itu.
Hampir tiga belas tahun berlalu. Baru kali ini, mereka bisa duduk berdua seperti ini, justru saat Baba telah pergi selamanya.
Waktu seperti terhenti dalam kebisuan keduanya.
Lia menatap kosong ke arah lorong kecil menuju pintu gerbang kampus. Sedang Bilal sibuk memperhatikan semut-semut yang hilir mudik di samping kakinya.
“Li, kamu apa kabar?” Bilal memulai percakapan, dengan suara sedikit lemah. “Aku baik, Bi.”
Kecanggungan itu benar-benar nyata.
“Dua belas tahun, sepuluh bulan, dua puluh hari, ternyata waktu yang panjang ya, Li.”
Lia menoleh. Dia kaget dengan detail waktu yang diucapkan Bilal.
Lia tidak menjawab. Dia kembali menatap jauh ke depan.
“Li, kamu sudah tahu kan, pernikahanku?” Lagi, Lia dibuat tersentak oleh kalimat Bilal.
Seperti sebelumnya, Lia tidak memberikan jawaban. Dia semakin sulit untuk menggerakkan lidahnya, dengan kalimat Bilal yang tidak henti, membuatnya semakin bingung.
“Kamu juga sudah tahu, kan, alasanku tidak membalas suratmu saat itu?”
Lia menghela napas. Dia semakin sulit mengatur suasana hatinya yang kian tidak stabil.
Beberapa meter dari tempat itu, terdengar suara seseorang memanggil Lia. Sontak Lia dan Bilal menoleh ke arah suara itu.
“Willy?” Lia kaget dengan keberadaan pria itu.
“Tadi aku nelpon kamu, tapi gak bisa nyambung. Aku hubungi Mey, dia bilang kamu di sini. Makanya aku ke sini jemput kamu.”
Lia tersenyum.
Dia berdiri, dan hanya menoleh sejenak ke arah Bilal yang masih duduk membisu.
“Aku duluan ya, Bi.”
Bilal pun hanya menjawab dengan senyuman. Willy lantas memberikan isyarat berpamitan juga pada Bilal.
Bilal tidak melepaskan pandangannya melihat kedua orang itu berlalu. Dia tersenyum, dalam pahit. Sorot matanya menjelaskan semua harapan, yang dilihatnya semakin samar dan menjauh.
“Li, kalau benaran aku jatuh cinta sama kamu, gimana?”
Lia malah terkekeh. “Gak mungkinlah! Cukuplah aku merasakan tersiksa jadi sahabatmu.”
Suara tawa semakin nyaring.
Bilal hanya tersenyum, melihat tawa lepas wanita yang telah lama dikenalnya. Wanita yang dia lihat merupakan wujud dirinya dalam versi wanita.
“Ya, memang benar apa yang kamu katakan dulu Lia. Kita tidak akan mungkin bersama. Bukan pilihan, tapi memang takdir yang memutuskan!” gumamnya, sambil berjalan meninggalkan tempat penuh kenangan itu.
****
Willy menurunkan Lia di kantor. Pria itu sudah memaksa Lia untuk beristirahat hari ini, tapi Lia tetap bertahan, ingin masuk kantor.
“Lia?” ucap Viona, terkejut melihat keberadaan Lia.
“Iya Mbak.” Viona mendaratkan pelukannya. “Kamu sudah lebih baik?”
“Iya Mbak.”
“Willy memberi kabar semalam, kamu dirawat di rumah sakit. Mbak dan anak-anak baru berencana hari ini menjenguk kamu.”
“Aku sudah baikan Mbak. Aku hanya sedikit kelelahan saja.”
“Kamu baik-baik saja kan, Li? Mbak lihat kamu seperti banyak pikiran. Jangan segan bagi dengan Mbak, jika itu bisa meringankan.”