Di meja saat makan malam. Hanan mencoba mencari waktu terbaik untuk memulai berbicara dengan Lia.
Setelah makan malam, Hanan akhirnya memberanikan diri.
“Kak, boleh Hanan bicara?”
“Iya silakan.”
“Kak, ini tentang mas Willy.”
“Iya Nan? Apa yang kamu ingin jelaskan? Aku sudah dengar semuanya!”
“Apakah Kak Lia, merasa, semua kebaikan mas Willy selama ini adalah kepalsuan?”
Lia membisu. Dia seperti terpengaruh ucapan Hanan. Dia merenung.
“Apakah pantas, kita menilai seseorang dari masa lalunya, Kak? Apakah itu adil?” sambung Hanan.
Lia masih diam.
“Iya memang Kak, mas Willy punya masa lalu kelam. Saya pun sama, Kak. Kami sama-sama tumbuh dari keluarga yang jauh dari agama. Tapi semakin dewasa, kami belajar banyak hal.
"Seperti saya banyak belajar dari Melati saat kuliah. Itu pun terjadi pada mas Willy selama mengenal Kak Lia di Rumah Bahagia. Saya menjadi saksi bagaimana mas Willy belajar salat, belajar ngaji, Kak.
"Saya terharu melihat kesungguhannya belajar. Saya tidak pernah menceritakan ini pada Melati, karena mas Willy melarang saya.” suara Hanan sedikit serak. Kenyataan tentang Willy membuatnya terharu.
“Aku bingung harus menjawab apa, Nan. Entah takdir benar-benar menghujaniku dengan semua kenyataan yang begitu berat beberapa hari ini. Aku tak lagi bisa membedakan rasionalitasku dan perasaanku,” ujar Lia.
“Saat ini, cukuplah Kak Lia tahu kebenarannya. Saya mengenal Kak Lia, sangat bijaksana. Semoga esok hari, Kak Lia sudah bisa melihat segalanya dari sudut pandang yang sebenarnya.”
Lia mengangguk.
Dia pun berdiri dan masuk ke dalam kamar.
Suasana kembali hening. Malam berlanjut bersama harapan pada hari esok.
***
Rahmi terus menangis tanpa jeda. Menyaksikan Linda beserta cucu-cucunya, Arka dan Arsya.
Bilal hanya terpaku di sudut ruangan itu.
“Nak, Ibu mohon, kamu jangan pergi! Apa kalian tega meninggalkan Ibu sendiri di rumah ini?” ucap Rahmi, terus berlinang air mata.
Linda pun tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Dia mendekat dan memeluk ibu mertuanya.
“Ibu, maafkan Linda jika selama ini belum bisa membahagiakan Ibu.”
Tangis itu semakin jelas.
“Bilal, tolong hentikan semua ini! Apa kamu tega melihat mereka terlantar di luar sana?” lanjut Rahmi.
“Bu, Linda yang memutuskan, bukan aku.”
“Iya, Bu. Ini yang terbaik untuk kami, kita semua,” sahut Linda.
Rahmi semakin sedih. Dia kembali memeluk Linda, memeluk cucu-cucunya. Arka dan Arsya hanya diam. Umur dua belas tahun, sudah cukup bagi mereka mengetahui kenyataan yang terjadi.
“Ibu, kami pamit ya.”
Linda melepaskan tangan Rahmi. Sedangkan wanita paruh baya tersebut, terus saja menangis.
“Ibu, pamit dengan ayah?” tanya Arka. “Iya, kalian ke sana.”
Arka dan Arsya mendekat ke Bilal. Mereka memeluk pria itu. Entah mengapa, pelukan kedua anak laki-laki itu sesaat menghadirkan keharuan di mata Bilal. Itu terlihat sangat jelas. Matanya berkaca-kaca.
Hening tercipta.
Kesedihan yang tidak bisa digambarkan dengan kalimat apa pun. Duka akan perpisahan, sangat terasa.
Linda pun mendekat pada Bilal.
“Mas, kami pamit ya. Terima kasih untuk segalanya. Gugatan cerai sudah aku ajukan ke Pengadilan. Kita menunggu jadwal persidangan.”