Suasana hening kembali tercipta. Di tempat itu, Lia dan Meylani sudah duduk berhadapan dengan Bilal.
Pertemuan yang kembali menyiratkan kesedihan dari tatapan Lia, pun dengan Bilal. Sendu yang terus bergema menuruti perjalanan waktu tanpa suara.
“Bi,” ucap Lia memulai disertai senyum. Lia memegang dadanya, dan berucap, “Di sini adanya cinta. Adanya ketulusan. Bagaimana pun dia tersampaikan, dia akan tetap akan sampai ke tempat yang sama. Aku melihat kesempurnaan cinta ada di mata mbak Linda. Sosok asisten dosen, yang lebih dulu kamu cintai. Aku benar kan, Bi?”
Bilal menghela napas. Dia tidak menjawab pertanyaan Lia.
“Jika aku bisa menyimpulkan, sebenarnya cintamu yang sebenarnya itu, untuk mbak Linda, bukan aku!”
“Li—“
“Mbak Linda sangat mencintaimu, Bi. Aku tidak mungkin merenggut itu hanya karena alasan masa lalu. Dia mendampingimu selama dua belas tahun ini. Itu sudah cukup membuktikan bahwa dia adalah takdirmu. Tolong, jangan sakiti dia!”
“Aku hanya merasakan cinta dan kenyamanan itu bersamamu, Lia. Hanya kamu!” bela Bilal.
“Tapi cinta sejati itu tidak akan menyakiti cinta yang lain, Bi. Aku tidak bisa!”
“Li, kamu sudah tahu, betapa aku sangat mencintaimu. Sejak dahulu. Aku pernah mengatakannya berulang kali, walaupun tidak secara langsung. Tapi mungkin, kamu saat itu tidak memahaminya.”
Lia tak bisa menahan sedih. Matanya berkaca-kaca.
“Saat aku membaca surat itu, betapa bahagianya aku, Lia. Cintaku ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Namun seketika takdir mengharuskanku menempuh jalan yang berbeda.”
Hening.
Dia menatap Lia, dan ingatannya justru terbawa pada kenangan ibunya, Linda, Arsya dan Arka. Ucapan Lia tentang ketulusan Linda, memutar semua momen-momen kehadiran dan kepedulian Linda pada keluarganya.
Banyak tawa dan bahagia yang tanpa sadar telah dia lalui selama dua belas tahun ini. Banyak kasih sayang yang dia dapatkan dari mereka yang justru tidak diinginkannya.
Inikah defenisi kebahagiaan yang sebenarnya? batin Bilal.
Sesaat setelah jeda, Bilal akhirnya menyadari, “Sikapmu ini memberikanku kebenaran, Lia. Bahwa cintaku memang tidak menjadi takdirku.”
Air mata Lia semakin deras membasahi pipinya. Setiap kalimat Bilal, meruntuhkan harapan itu, nyata.
“Yang aku pahami saat ini, cinta itu bukan lagi untukku. Kenangan kita tidak akan pernah jadi masa depan.”
Bilal tak mampu menahan sedihnya, suaranya semakin bergetar. Dia menghela napas dan mencoba menenangkan diri.
“Bagaimana takdir menghadirkan cerita cinta kita yang sangat rumit. Kedewasaan cinta adalah saat kamu menerima cinta tanpa menyakiti cinta yang lain. Ya kamu benar, Lia.”
Air mata Lia semakin deras. Napasnya terputus-putusnya. Kesedihan itu jelas menguasainya.
Meylani yang ada di sampingnya, terus mengelus punggungnya, berusaha menenangkan.
“Cinta sejati adalah saat kita bisa memulai mencintai, cinta yang hadir dengan tulus,” Bilal mengakhiri kalimatnya.
Dia berdiri, berlalu, meninggalkan Lia dan Meylani dalam keheningan duka.
Meylani memeluk sahabatnya itu. Dia berusaha menghadirkan diri untuk Lia.
Tangisan Lia pecah.
Dalam pelukan Meylani, seluruh sakit dan kecewa menyatu. Perjalanan yang begitu panjang, tiba pada satu takdir yang nyata. Bahwa melepaskan adalah takdir yang nyata bagi cinta mereka.
***
Melati dan Hanan diliputi kegamangan dengan persoalan Lia dan Willy di tengah waktu pernikahan yang semakin dekat.
“Mas, jadi ke Bandung ditunda dulu?”
“Iya, kita selesaikan dulu masalah kak Lia. Gak mungkin kita mau tinggalkan dia sendiri dan persoalan dengan mas Willy belum kelar.”
“Jadi bagaimana?”
“Itu juga yang membuat Mas bingung sekarang. Orangtua Mas Willy bertanya, bagaimana kepastian pernikahan mereka. Ini sudah dekat dengan waktu yang disepakati tempo hari.”
“Mas Willy gimana?”
“Kamu kan tahu, mas Willy itu orangnya keras. Apa pun yang sudah dia katakan, pantang dia tarik kembali. Katanya dia sudah mengatakan pada kak Lia, dia akan pergi jika kak Lia memintanya pergi.”
“Beginilah Mas, kalau sama-sama keras kepala. Jangan harap kak Lia juga mau menarik ucapannya.”
“Gimana ya? Mas ini jadi pusing banget. Siapa yang bisa membantu membujuk kak Lia? Biar Mas yang mencoba lagi membujuk mas Willy.”
“Kak Mey, saat ini tidak berani bicara banyak karena masalah kami kemarin. Satu-satunya yang bisa membantu, mbak Viona. Senior kak Lia di Rumah Bahagia, yang tahu betul hubungan kak Lia dan mas Willy.”
“Kamu coba bicara dengan beliau. Semoga beliau bisa melunakkan hati kak Lia.”
“Iya Mas.”
Hanan pamit untuk kembali ke kantor. Sedang Melati langsung menghubungi Viona.
Melati lantas menceritakan segalanya. Masalah yang tengah menjadi jurang pemicah, antara Lia dan Willy.
Percakapan pun berakhir, setelah Viona berjanji akan menuntaskan masalah kedua sahabatnya itu.
***
Setelah pertemuan dengan Bilal, Lia langsung kembali ke kantor.
Beberapa menit berada di ruangannya, Viona menghampiri. Dia mendapati Lia dengan mata yang bengkak. Menampakkan dengan jelas, dia baru saja menangis.
Viona duduk di hadapan Lia tanpa kata. Dia menatap Lia, mencari kejujuran Lia atas apa yang sedang dialaminya.
Melihat sikap Viona yang hanya menatapnya, membuat Lia semakin terpojok. Dia terlihat rapuh. Bukan lagi Camelia Zenia yang selama ini tegar.
Viona menggeser kursinya, lebih dekat. Tanpa basa-basi, Lia langsung memeluk Viona. Menumpahkan semua kelelahan hatinya, kedukaannya yang tidak lagi bisa dia bahasakan.
Viona masih diam.
Dia hanya terus meraba-raba punggung Lia. Dia seperti merasakan kesedihan yang sedang Lia alami.
Setelah lebih tenang, Lia akhirnya menguatkan diri memulai kalimatnya.
“Aku merasa, berada di titik terendah saat ini, Mbak. Aku kehilangan kekuatan. Harapanku seperti tidak tersisa.”
Walaupun tidak memahami keseluruhan cerita Lia, Viona tetap berusaha menjadi pendengar terbaik.
Sebagai seorang Konsultan Senior, dia sudah hafal dengan berbagai jenis masalah hidup. Dia sudah banyak belajar dari ratusan klien yang telah dia hadapi selama ini.
“Lia, Adikku. Kamu hanya lelah saja. Waktunya kamu harus benar-benar istirahat. Pekan ini, Mbak ajak kamu ke puncak. Mau ya?”
Lia tidak bersuara. Dia hanya mengangguk.
“Sekarang kamu pulang. Seluruh klien sudah ditangani Oskar untuk hari ini. Kesehatan mentalmu jauh lebih penting.”
“Mbak, aku mohon maaf. Akhir-akhir ini aku tidak profesional dalam bekerja. Aku banyak meninggalkan tugasku.”
“Lia, sudah cukup kamu serahkan seluruh kesehatan dan waktumu untuk Rumah Bahagia. Kamu hanya manusia biasa. Memang saatnya kamu mengambil jeda dari kehidupan orang lain. Saatnya fokus pada kehidupanmu sendiri.”
Lia kembali memeluk Viona. Dia benar-benar mendapatkan kelapangan setelah mendengar kalimat Viona.
Beberapa menit kemudian, Lia pamit kembali ke rumah. Viona mengantarnya sampai parkiran.
Setelah Lia berlalu, Viona mendapati sosok yang tidak asing berada di parkiran, di dalam mobilnya.
Dia pun melangkah mendekati sosok itu.
“Kamu, ngapain di sini?”
Pria itu tidak menjawab. Dia terus menampakkan mata sayunya. Senyuman itu hilang sepenuhnya dari wajahnya.
“Kamu turun, kita minum kopi dulu di sebelah,” pinta Viona.
Pria itu pun, turun dari kendaraannya, mengikuti langkah Viona, menuju café yang ada di sebelah Rumah Bahagia.
Keduanya memesan minuman.
“Willy, kamu kenapa berantakan begini? Kamu seperti gelandangan, tidak terurus!”
Pria itu tetap membisu.
“Ceritalah Will, siapa tahu itu bisa membantu meringankan beban di hatimu.”
Pelayan datang bersama pesanan Viona.