Pesawat Garuda yang ditumpangi Tyas menuju Bandar Udara Simpang Tiga, Pekanbaru, baru saja tinggal landas meninggalkan Bandar Udara Tabing Padang. Namun Tyas merasakan bahwa separuh jiwanya tertinggal. Selalu saja begitu. Kemanapun ia pergi, selalu saja hanya separuh jiwanya yang ikut bersama. Sementara separuh lainnya tertinggal dalam balutan kenangan yang ia rajut di Kota Padang Tercinta bersama Kenang Kita.
Sepanjang kebersamaan yang mereka lalui, terlalu banyak hal-hal manis yang sulit untuk dilupakan. Meskipun Tyas yang telah meninggalkan Kenang Kita dan menerima perjodohan yang ditetapkan oleh nenek antara Tyas dan Fahri, namun sejujurnya keputusannya itu justru menghadirkan luka terdalam dilubuk hatinya. Tyas sadar pada saat ia melukai Kenang dengan keputusannya itu sebenarnya Tyaslah yang lebih merasakan luka nan menderai seluruh persendian kehidupannya. Tyas menenggelamkan dirinya pada pekerjaannya sebagai pengacara dan dosen di almamaternya. Dimanapun calon kliennya berada, Tyas tak segan untuk mengejar dan berlari dari satu kasus ke kasus lain. Dari satu seminar ke seminar lainnya di pelosok negeri di Indonesia, hingga ia bukan lagi si Merpati Putih, namun sudah berubah menjadi si Ratu Seminar, karena hanya dengan begitu ia bisa mengalihkan perhatian dan pikirannya dari Kenang Kita.
Tyas menyadari status anak angkat yang disandangnya terkadang menimbulkan konotasi jelek sebagai anak yang tak jelas asal usulnya bagi diri Tyas. Apalagi di jaman pra sejarah ini belum banyak cerita tentang anak angkat yang terkuak secara terbuka di tengah masyarakat. Kalaupun ada keluarga yang mengangkat atau mengadopsi anak, mereka akan menutupi fakta tersebut. Belum lagi gelar janda yang didapat Tyas ketika ia masih sangat belia. Meski semua kenyataan itu begitu kuat disimpan oleh Ayah, ibu dan nenek demi kebahagiaan Tyas di masa depan, namun tetap saja pada akhirnya akan tersingkap jua. Dan Tyas berada pada posisi yang sulit untuk menjelaskan semua itu karena tak seorangpun yang mengetahui siapa ayah dan ibu kandungnya serta sanak saudaranya. Pun kapan dan dimana Tyas menikah juga tak ada yang menyaksikan karena prosesi pernikahan itu sendiri hanya dihadiri oleh keluarga inti di sebuah tempat nun jauh di negeri antah berantah. Bahkan para kroco-kroco sendiri tak pernah mengetahui kejadian itu meski mereka bersahabat sangat dekat. Termasuk Eddo sekalipun.
Tyas yang malang adalah pribadi yang sangat tertutup dan kutu buku. Tak terlintas dipikirannya untuk mengenal cinta monyet di masa ia bersekolah dulu. Saat para kroco sibuk dengan kisah kasih mereka masing-masing. Tyas tetap saja asyik berkutat dengan buku dan pena. Menghasilkan berlembar-lembar tulisan tentang resensi buku yang telah ia baca dan kemudian menengirimkannya ke media cetak di kotanya. Dari essay, Tyas menghilangkan kejenuhannya dengan menulis puisi ataupun cerpen. Anehnya, meski tak mengenal cinta, Tyas cukup piawai menulis puisi dan cerpen bertema cinta yang mendayu-dayu. Tiada hari tanpa buku dan pena. Tiada hari tanpa nama Tyas yang mengisi mengisi kolom essay, puisi dan cerpen di majalah dinding sekolah. Tiada minggu yang tak terpampang nama Tyas mengisi kolom budaya minggu ini pada koran daerah. Itulah Dewi Ayuning Tyas di jaman pra sejarah dulu, sebelum ia mengenal cinta.
Beranjak ketika memasuki dunia kampus pun keadaanya tak jauh berbeda. Tyas tetaplah kutu buku yang masih menutup diri serapat-rapatnya dari makhluk bernama pria. Hingga akhirnya ia tak bisa lagi mengelakkan rasa setelah ia mengenal Kenang Kita. Cinta pertama yang seharusnya manis dan terasa indah. Yah, Tyas menyebut itu cinta pertama yang teramat disayangkan bukanlah sentuhan pertama bagi dirinya dari seorang pria. Mengingat hal itu Tyas ingin memutar masa dan berharap ia tak pernah lahir ke dunia. Bukan salah sesiapa pun jua sesungguhnya. Tapi tetap saja sulit untuk Tyas menerima suratan garis kehidupan yang telah dibukukan oleh Sang Penulis cerita sesungguhnya. Sang Sutradara Sejati itu memang berhak menulis skenario kehidupan Tyas tanpa ia bisa menggugatnya sama sekali meski Tyas adalah seorang pengacara handal sekalipun. Dan Tyas yang manis, masih memiliki sebersit rasa syukur dari segala apa yang telah ia lalui.
Bukankah dalam air mata duka selalu ada pelangi kebahagiaan setelahnya? Dan pelangi itu dilukiskan oleh Kenang Kita bagi indahnya cinta untuk Sang Merpati Putih. Tyas ingat, usai menabrakkan mobilnya pagi itu pada mobil Kenang, keesokan harinya saat ia akan berangkat kuliah, Tyas tak menemukan mobilnya di garase. Dan di depan rumah telah berdiri Kenang Kita dengan niat hendak mengantarkan Tyas ke kampus hijau di Limau Manis. Bukannya senang, Tyas malah mencak-mencak pada Eddo yang tanpa meminta ijin darinya terlebih dahulu, telah memberikan kunci mobil pada Kenang untuk dibawa ke bengkel. Tyas pun kabur melewati pagar di belakang rumah dan berangkat kuliah dengan Bis Kampus tanpa seorangpun yang mengetahui. Tinggallah Kenang Kita menunggu tanpa kepastian karena Sang Merpati Putih telah terbang meninggalkannya.
Butuh proses memang bagi Kenang Kita untuk bisa mendekati Tyas hingga ia mendapat kesempatan di hari ulang tahun Tyas. Dan itu pun pasti adalah berkat bantuan Eddo tentunya yang kemudian membuat Sang Merpati Putih dan Smiling Face bagai pasangan tak terpisahkan. Dimanapun Tyas berada akan selalu menjadi bayang-bayang bagi Kenang Kita pun sebaliknya. Dimanapun Kenang Kita berada pasti ada Tyas di sampingnya.
Uniknya Kenang Kita dulu juga berkuliah di kampus yang sama dengan Tyas, yaitu Universitas Andalas, hanya saja mereka berbeda jurusan. Kenang menyelesaikan kuliahnya pada Fakultas Ekonomi Unand sedangkan Tyas di Fakultas Hukum. Jadilah di setiap acara ulang tahun almamater, mereka sering dinobatkan sebagai pasangan terfavorit ataupun pasangan yang paling serasi abad itu.
Jarak usia yang cukup terpaut jauh juga bukanlah penghalang bagi hubungan mereka, meski kadang kala Kenang Kita lebih banyak berdiam diri saja melihat tingkah laku Tyas dan teman-temannya jika ia ikut mendampingi Tyas di acara kampus. Tak jarang, Kenang Kita sering menjadi sasaran kejahilan Tyas sendiri. Berulangkali kejahilan Tyas menyasar Kenang Kita dan berulang kali pula Si Smiling Face itu tetap tersenyum menerima tingkah laku Tyas. Padahal Tyas berharap ia bisa melihat rona kemarahan menyapu wajah pria itu namun Tyas selalu gagal.
Siang itu kampus hijau belum memperlihatkan warna hijaunya, meski terletak di atas perbukitan karena mereka baru saja pindah ke daerah Limau Manis. Panas terik kota Padang terasa cukup menyengat. Tyas baru saja menyelesaikan beberapa urusannya di kantor rektorat dan mengajak Kenang Kita yang datang menjemput untuk tidak langsung pulang. Tyas mengajak Kenang Kita untuk duduk sejenak di salah satu warung yang menyediakan makanan dan minuman di area kampus. Warung sederhana yang masih berupa pondok-pondok bambu bertutupkan spanduk-spanduk bekas. Padahal di dalam ada kafe kampus yang lebih bagus dengan ruangan cukup nyaman dan bersih serta tentu saja lebih berkelas. Namun Tyas malah memilih warung kecil di luar kampus yang tentu saja sangat sederhana dan ala kadarnya. Tyas melihat tak ada sedikitpun perubahan pada wajah Kenang ketika Tyas mengajaknya hanya sekedar duduk di warung itu, lalu memesan secangkir kopi hitan serta segelas teh manis. Saat minuman datang, pemilik warung meletakkan cangkir kopi di hadapan Kenang dan gelas tehnya di hadapan Tyas. Tyas segera mengubah posisi kedua minuman itu sehingga pemilik warung terheran. Selalu begitu kejadiannya karena Kenang bukanlah penikmat kopi yang fanatik seperti Tyas.
“Terbalik ma. Diak.” seloroh pemilik warung. “Nan padusi nan maminum kopi, indak nan laki-laki do.”