Maafkan Aku

Dewi Hastuti
Chapter #7

7. Cinta Kejam

Huuff, Eddo menghembuskan asap berbentuk gulungan-gulungan menyerupai cincin. Akhirnya ide itu muncul seketika saat ia mengamati gerakan asap rokok yang mengepul di sekeliling pria bertubuh tegap itu. Buru-buru ia meninggalkan sebuah pesan pada secarik kertas untuk Nyonya Besar bernama Tyas yang dititipkan Eddo kepada Elsya, sekretaris Tyas. Tak lupa Eddo juga meminta jadwal seminar yang akan dihadiri Tyas lengkap dengan susunan acara dan tempat diselenggarakannya acara seminar tersebut serta kota-kota yang akan dikunjungi Tyas.

Eddo menemui sahabat lamanya Bram di sebuah kafe khusus bagi penikmat kopi dan minuman lainnya. Bagi pelanggan khususnya, Bram memiliki ruangan yang sedikit pribadi di lantai dua kafenya dan tentu saja bukan hanya sekedar minuman kopi yang tersedia di sana. Dan di lantai dua itulah kini Eddo berada. Bram terkejut dengan kemunculan Eddo yang tiba-tiba.

 “Hai, bro. Apa kabarnya nih. Sudah lama tak jumpa. Semakin keren saja nih sobat kita satu ini.”

 “Baik Bro. Kamu sendiri bagaimana? Kafe lancar nampaknya. Sudah berapa orang anggota? Kalau sudah makmur begini anggota bisa nambah setiap tahun kan?” 

 “Ah, awak ni ya macam beginilah selalu. Tak akan berubah. Mana bisa punya anggota yang akan bertambah setiap tahun. Dapur saja belum ada. Lagi pula kasihan merekanya jika punya Bapak seperti awak ni Kawan.”

“Hei, jangan pesimis begitu. Nanti kalau kita sudah tua dan sudah tak punya gigi lagi. Baru terasa bahwa dapur itu penting. Hidup tak selama akan seperti ini, Bro.”

“Iya jugalah kata kau itu. Lalu apa gerangan yang membawamu ke sini? Ada berita apa?”

Eddo memperlihatkan koran yang memuat berita penculikan Natya dan Ulya kepada Bram.

“Kau pasti masih berhubungan dengan mereka bukan? Jangan bilang tidak. Tyas memintaku untuk mencari kedua bocah itu sampai dapat. Kau tahu sendiri bagaimana Tyas bukan?”

  “Aduh, Kawan. Tolong jangan buat posisi awak berada di tepi juranglah. Awak sudah tak mau ikut campur urusan mereka lagi.”

 “Okey. Satu kata saja. Selebihnya biar saya yang urus.”

 Bram menghembuskan nafasnya. Menyerahkan koran itu kembali pada Eddo, lalu menyebutkan satu kata. “Ojeng.”

 “Terima kasih, Bro.” Eddo kembali mengambil korannya dan bergerak hendak meninggalkan kafe milik Bram.

 “Tolong jaga nama saya karena saya tak mau ikut campur lagi dengan urusan mereka.”

 “Siap.”

 Eddo pun menyuruh anak buahnya mencari jejak Ojeng hingga akhirnya mendapatkan semua informasi tentang dimana keberadaan kedua bocah tersebut. Ojeng adalah ketua geng “Gasiang Tingkurak” yang sangat ditakuti. Ojeng sendiri adalah teman Eddo ketika mereka masih kanak-kanak. Awalnya ia hanya seorang tukang parkir yang menguasai area Pasar Raya. Karena kepiawaiannya dalam memimpin, akhirnya ia mengepalai seluruh tukang parkir dan para preman yang ada di Pasar Raya dan membentuk sebuah geng yang akhirnya menjadi besar dan cukup ditakuti. Meski kemudian Eddo dan Ojeng berpisah, karena mereka menjalani alur kehidupan masing-masing, namun persahabatan mereka tetap terjalin. Ojeng menjamin tidak akan mengganggu segala hal yang berkaitan dengan Eddo. Ia malah meminta anak buahnya menjaga toko tekstil milik Eddo dan membebaskan parkir di area tersebut.

 Eddo mengirim anak buahnya untuk menemui Ojeng. Begitu Eddo mengatakan bahwa kedua anak yang diculik itu adalah keponakannya, Ojeng pun segera menyebutkan sebuah tempat yang menjadi lokasi dari kedua korban penculikan tersebut tanpa menyebutkan siapa pelaku dari penculikan tersebut. Eddo kemudian memastikan bahwa anak buahnya telah berada di lokasi yang ditunjuk Ojeng dan mereka pun bersiaga di tempat tersebut. Barulah kemudian Eddo berangkat ke Jakarta.

 Dengan keahlian penyamaran tingkat tingginya yang patut diacungi jempol, Eddo berhasil menjadi supir pada sebuah keluarga berkebangsaan Belanda. Eddo menggantikan posisi supir lama yang tiba-tiba harus meninggalkan pekerjaan karena keluarganya mendapat musibah di kampung.

 Setelah merasa bahwa ia telah berhasil menguasai keadaan, barulah Eddo menghubungi Tyas pada sebuah nomor yang diberikan Elsya bersamaan dengan lembaran jadwal kegiatan seminar yang diikuti Tyas di beberapa tempat. Namun yang menjawab panggilan Eddo adalah Elsya karena Tyas masih sedang berbicara sebagai narasumber di acara seminar hukum yang diikutinya. Eddo lalu meninggalkan beberapa pesan pada Elsya agar Tyas segera menghubunginya nanti usai acara.

 Baru saja Tyas hendak rebah di kamar hotel tempat mereka menginap, Elsya telah menyodorinya sebuah pesan.

 “Bu, tadi Pak Eddo menghubungi ibu. Tapi karena ibu masih mengisi kegiatan sebagai narasumber tadi, beliau hanya meninggalkan pesan agar ibu segera menghubungi nomor ini.”

Lihat selengkapnya