Percayalah karena yang hilang biarlah berlalu. Yakinlah, Allah akan ganti dengan yang lebih baik dari yang dahulu.
-Nayla Kheorunnisa-
Nayla menatap wajah ibunya dengan penuh kasih sayang yang terlihat dari senyuman yang begitu manis. Orang tua yang masih ada dan hanya satu yang ia miliki di dunia.
"Nay."
Nayla menyernyit, lalu membalikkan badan. "Kakak." Nayla membuang nafas lega.
Nazla memulai. "Kamu ngapain ngeliatin ibu dari sini? Ibu udah tidur, mungkin ia kelelahan."
Nayla tersenyum senang, karena ia masih bisa melihat ibunya. Tidak seperti salah satu temannya yang tidak bisa bertemu dengan ibunya, karena sang ibu telah meninggal terlebih dahulu saat melahirkannya.
"Kok, Adeknya Kakak nangis sihhh." Nazla memeluk Nayla yang sudah meneteskan air mata.
"Nay, gak sanggup kalo nanti ibu udah gak bersama Nay lagi."
Nazla semakin kencang dan enggan untuk melepaskan pelukannya.
"Nay, dengerin Kakak. Jodoh, rezeki dan maut itu sudah ada yang mengaturnya, jadi kita hanya menjalankan sesuai skenarionya."
Agung memeluk mereka dari belakang. "Saling pelukan, enggak ngajak-ngajak."
Mereka tertawa bahagia, tidak ada siapapun yang dapat ia melepasnya.
Uhuk ... uhuk ....
Nayla, Nazla dan Agung terdiam sejenak dan saling bertatapan satu sama lain.
"Kak?" tanya Agung setelah melihat ke arah kamar ibunya tersebut.
Dengan pelan, Nazla menjawab. "Biar Kakak yang urus, kalian sana belajar aja."
Tanpa pikir panjang, Nayla dan Agung pergi ke kamarnya masing-masing.
Nayla, Nayla Khoerunnissa nama yang diberikan oleh ayahnya, anak terakhir dari kedua kakak perempuan dan satu kakak laki-laki, Agung Saputra yang saat ini menginjak kelas duabelas disalah satu SMK yang berada di kotanya.
"Nay!"
Nayla menyernyit kesal, karena Agung datang tidak tepat waktu saat ia memakai sepatu.
"Apa? Nay, lagi pake sepatu."