"Bu, kasih Nayla kesempatan sekali lagi, Nayla mohon." Nayla berlutut di hadapan Julaiha.
Dengan nada meledek Julaiha menjawab. "Kesempatan untuk apa?"
Deg!
Hati Nayla berasa teriris, ia tidak sanggup untuk berbicara lagi, yang ia inginkan hanya pelukan tapi tidak ada yang menginginkannya.
Beberapa tetangga dan saudara tidak bisa berbuat, hanya terdiam.
"Maafkan, Nayla Bu."
"Anak durhaka, tidak bisa bisa diandalkan. Katanya ia mau meneruskan profesi orangtuanya
Dengan langkah pendek, Nayla mulai melangkah dengan beberapa tas yang ia gendong dan jinjing. Air mata kembali mengalir.
Karena ia tidak tahu, kearah mana ia harus melangkah. Jika ia terlalu jauh melangkah, takut kejauhan ia pergi ke sekolah. Tapi, kalau tidak jauh, pasti ia akan terus mengingat kejadian tersebut.
"Nay? Nayla!!"
Seseorang menghampirinya. Nayla berusaha untuk bersikap biasa saja. Secepat mungkin ia menghapus air mata yang sudah jatuh.
"Kamu nangis ya?" tanya orang tersebut, dengan nada meninggi yang ternyata adalah Gilang.
"E-enggak, enggak kok. Cuma kelilipan aja," timpal Nayla dengan gugup.
Gilang mengambil nafas panjang, lalu ia hempaskan. "Kamu gabisa bohong! Ngaku."
Seakan pertanyaan Gilang itu membuat Nayla terpaku.
"Maaf, Nay banyak urusan."
Gilang menahan langkah Nayla dengan menarik salah satu tangannya. "Kamu gak bisa pergi, sebelum kamu ceritakan semuanya."