“Selamat datang di Rumah Belajar Cerdas Gembira, Nara!”
Nara memperhatikan sekelilingnya. Di hadapannya, terbentang halaman berpaving yang terdapat permainan anak-anak seperti perosotan, ayunan, dan jungkat-jungkit.
Gedung Rumah Belajar Cerdas Gembira memiliki dua lantai. Letaknya cukup strategis, gedungnya bisa dilihat dari jalan utama.
“Aku deg-degan, Mil. Boleh berubah pikiran nggak sih?”
Nara berada di tempat ini lantaran telah menerima tawaran Kamila untuk menjadi relawan mengajar. Menggantikan teman Kamila yang mengundurkan diri. Karena sudah merasa kesulitan mengatur waktu antara menjadi mahasiswa dan relawan mengajar.
Sebelumnya, Nara tidak berpikir panjang. Harapannya, ingin segera bisa melupakan Garland dengan cara mengisi hari-harinya dengan kegiatan positif. Namun, sekarang justru kekhawatiran menguasai hatinya.
Khawatir tidak bisa cepat beradaptasi dengan lingkungan, teman-teman, dan anak-anak di sini.
“Ra, aku bilang nggak boleh aja, ya? Aku yakin kamu bakal seneng ngajar di sini. Aku udah cerita ke kamu tentang temen-temen dan anak-anak di sini, begitu pun sebaliknya. Mereka bakal menerima kehadiran kamu dengan senang hati.”
Keyakinan Kamila entah mengapa hanya dianggap sebagai kalimat penenang oleh Nara. Entah mengapa rasa percaya diri Nara hilang seperti ditelan bumi.
Setelah kejadian malam itu, Nara menutup diri. Ke kampus hanya untuk siaran radio lalu pulang. Hanya sekadar menunaikan kewajiban tanpa ingin berbaur seperti biasanya. Untungnya, saat ini sedang libur semester. Jadi, selama ke kampus tidak bertemu dengan Garland.
Namun, meskipun tidak bertemu Garland. Kabar hubungannya dengan Garland yang telah selesai ternyata sudah menjadi gosip di kampusnya. Nara mendengar bisik-bisik mereka yang membicarakannya. Selagi mereka tidak bertanya langsung, Nara memilih tidak peduli, meskipun tidak bisa dimungkiri hatinya sangat panas.
“Ra?” panggil Kamila.
“Aku khawatir nggak bisa adaptasi, Mil.”
Mata Nara berkaca-kaca. Garland telah merenggut setengah semangatnya dalam menjalani hidup. Desas-desus Garland sedang melakukan pendekatan dengan perempuan lain padahal baru beberapa hari putus yang menjadikan Nara seperti ini. Secepat itu kah Nara dilupakan?
“Ra, bisa nggak fokus buat nyembuhin luka kamu? Jangan tanya Garland kenapa jahat sama kamu. Karena kamu nggak akan dapet jawabannya kalau emang dari Garlandnya nggak ada niat buat ngasih tahu.”
Kata-kata Kamila kali ini berhasil menampar Nara. Sepertinya Nara memang perlu ditampar berulang kali biar sadar. Kalau Garland memang tidak pantas mendapatkan ketulusannya.
Nara menghapus air mata yang sudah jatuh membasahi pipinya. “Terima kasih ya, Mil,” ucapnya sambil tersenyum.
“Sama-sama. Kamu lebih cantik kalau senyum, Ra. Sesekali nangis buat Garland nggak papa kok. Tapi, harus janji, sebentar saja. Dunia terlalu indah cuma buat nangisin mantan, Ra.”
“Iya, Mil. Makanya, kalau aku lagi sedih langsung beliin aku es krim. Jangan ditanya-tanyain lagi.”
“Jiah malah malakin aku. Oke deh. Bilang aja ya kalau lagi sedih.” Kamila tersenyum manis.
“Siap!”
“Ehem! Masih pagi udah bikin anak orang nangis aja, Mil? Habis diapain kamu sama Mila?” sapa seorang cowok dari arah belakang.
Nara dan Kamila otomatis menoleh ke belakang. Seorang pemuda yang memiliki wajah tampan dengan hidung mancung dan kulit berwarna sawo matang tersenyum ke arah mereka.
“Kenalin aku Niko. Dan, temenku yang lagi di belakang sana namanya Beni. Kamu pasti yang namanya Nara kan? Temen Mila yang bakal gantiin Beni?” tebak Niko tanpa memberi kesempatan Nara dan Kamila membuka mulut.
“Iya, Nik. Kamu tumben berangkat bareng Kak Ben?” tanya Kamila.
“Nggak berangkat bareng, Mil. Tadi kebetulan aja nyampenya bareng. Coba lihat aja, di sana ada tiga motor. Kalian tadi asyik ngobrol sampai nggak sadar aku sama Beni lewat."
“Oalah iya. Kak Ben nggak bareng sama Nizwa, ya?”
“Nggak tahu. Mana bisa dia menceritakan Nizwa ke aku. Yang ada dia bakal cemburu kalau aku perhatian sama Nizwa. Daripada nanyain hal yang aku nggak tahu jawabannya, mending temen kamu disuruh ngomong, Mil.”
“Eh iya. Nik, kenalin ini Nara. Nara kenalin ini Niko. Nara yang bakal gantiin Kak Ben jadi relawan di sini, Nik.”
“Hai, Nara. Aku Niko.”
“Hai juga,” jawab Nara singkat.
“Temen kamu cuek banget ya, Mil. Oke nggak papa. Aku berani sumpah, aku nggak nguping pembicaraan kalian. Jadi, nggak usah merasa malu ya, tadi ketahuan nangis.”
“Eh maaf ya. Aku nggak bermaksud cuek. Cuma belum kenal aja. Beneran.”
Nara menjadi tidak enak telah membuat Niko berpikir seperti itu. Padahal, dari awal Niko sudah berusaha mencairkan suasana.
Kesan pertama bertemu Niko, Niko sepertinya orang yang asyik dan tidak suka ikut campur urusan orang lain. Namun, Nara lebih tertarik pada sosok yang bernama Beni. Sedari tadi hanya duduk di atas motor sambil fokus bermain dengan ponselnya.
“Nggak papa, Ra. Santai aja. Dulu awal-awal jadi relawan aku juga kayak kamu kok. Tapi, semakin ke sini, aku bisa jadi diriku sendiri.”
“Makasih ya, Kak Niko, buat pengertiannya. Mudah-mudahan aku bisa cepet beradaptasi di sini.”
Nara melupakan sejenak tentang masalahnya dengan Garland. Berusaha melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Niko, yaitu mencairkan suasana dengan jurus sok kenal sok dekat.