Magali dan Beau duduk menghadap meja kecil dalam kamar kos berukuran tiga kali dua meter itu. Sebuah cupcake berhiaskan fondant putih dan angka 24 berwarna ungu terletak di tengah meja. Lilin ulang tahun kecil berulir merah dan putih tertancap di kue tersebut. Magali menatap dalam cupcake itu, sementara Beau memutar bola matanya dengan tidak sabar. Keduanya duduk di sehelai karpet kecil.
“Nunggu apa lagi, sih? Make a wish!” Beau memberi perintah kepadanya.
Magali menarik napas panjang. Harapan yang selalu diucapkannya dengan suara lantang sudah siap meluncur. Tak ada yang istimewa, seperti biasa. Jodhi tidak ada di sini. Nene ada di Bandung. Sudah nasib Magali tahun ini berulang tahun di tengah minggu, sehingga dia tidak bisa berada di Bandung untuk merayakan di rumah. Dan berhari jadi di bulan Desember mengandung sisi nahas lain. Saat itu Jodhi sudah bisa dipastikan berada di kapal pesiar besar di tengah lautan apalah, mempersiapkan gala dinner untuk malam tahun baru para penumpang kaya di sana.
“Gue aja ya, yang nyebutin wish-nya? Nggak berubah, kan? Masih sama ... andai namaku bukan ...,” kata Beau sambil bersiap-siap meniup lilin kecil yang sudah mulai meleleh itu.
“Stop! Or you won’t eat this cupcake!” Magali menjerit sambil mendorong pundak Beau dengan keras.
Beau tertawa terbahak-bahak melihat reaksi sepupunya itu. Magali dan nama. Benar-benar topic of the year setiap tanggal 29 Desember.
Magali memiliki masalah penting seumur hidup, yakni namanya sendiri. Tidak ada yang tahu pasti kenapa Jodhi—begitu Magali memanggil ayahnya—memberi nama itu setelah dia lahir. Sayang sekali, sang ibu meninggal sesaat setelah mengantarnya hadir ke dunia. Kalau tidak, tentu wanita itu punya pilihan nama yang sedikit lebih normal. Magali masih menyalahkan Jodhi atas nama itu sampai sekarang. Bahkan dalam bentuk paling ekstrem, gadis itu menganggap namanya kutukan sehingga dirinya memiliki sifat dan selera yang aneh menyangkut segala sesuatu, terutama makanan.
Sejak usia enam tahun Magali terus menuntut penjelasan dari Jodhi tentang namanya. Kenapa bukan Princess, Barbie, Chrystal atau Melati? Dan sejak dia bisa mengingat, momen untuk menuntut sebuah penjelasan tidak selalu didapatnya. Jodhi adalah seorang juru masak di kapal pesiar. Setiap tahun dia berlayar selama sepuluh bulan. Dua bulan sisanya, Jodhi menjejakkan kaki di Bandung atau Jakarta untuk menjenguk Nene, Magali, dan Beau. Setelah itu Jodhi kembali ke tengah lautan.
“Kenapa namaku Magali?”
“Karena ....” Jodhi selalu begitu. Kadang kalau kurang sabar menunggu, lawan bicaranya pasti akan langsung melengos dan meninggalkan pria itu begitu saja. Nene sering melakukannya.
Laki-laki berumur 48 tahun itu memang selalu santai menanggapi segala sesuatu, kecuali hal-hal yang dikuasainya seperti resep masakan dan nama-nama restoran terkenal seluruh dunia.
“Dia terlahir seperti itu,” kata Nene pada Magali beberapa belas tahun lalu ketika Magali mengeluhkan tabiat ayahnya.
Sampai Magali berusia sepuluh tahun, dia belum mendapatkan jawaban yang jelas mengenai namanya. Akhirnya Magali mengubah cara bertanya pada Jodhi.
“OK, Jodhi, katakan padaku apa arti Magali! Nggak mungkin kan, namaku tidak ada artinya?”
“Aaah, kalau itu tentu saja Jodhi tahu!” Tidak seperti biasanya, kali ini Jodhi menjawab dengan nada antusias. Khas Jodhi, kalau dia menguasai topik pembicaraan.
“Magali artinya mutiara. Dalam bahasa Prancis.”
Magali menunggu kelanjutan ucapan Jodhi. Namun sang ayah justru beranjak dari duduknya dan masuk ke kamar.
“Terus?” Magali mengejarnya ke kamar.
“Lho? Tadi kan, cuma tanya arti namamu? Sudah Jodhi jawab, kan?” Jodhi menutup pintu.
“Jodhi nggak mau cerita kenapa aku dikasih nama itu?” Tidak ada jawaban dari dalam.
Tiga tahun kemudian, penjelasan berkembang sedikit. Magali sudah tiga belas tahun. Mulai beranjak remaja. Sudah kelas satu SMP di Bandung.
Dan dia muak sekali dengan olok-olok teman-temannya di sekolah tentang nama aneh itu.
“Gali, Magali, Gali, tukang gali sumur!”
“Gali, Magali, Gali, tukang gali kubur!”