"Selamat ulang tahun, jelek!”
Magali menggerutu pelan mendengar suara Jodhi di seberang telepon. Jodhi meneleponnya dari tengah samudra. “Kadonya apa?” tanya Magali tidak antusias. Dua puluh empat tahun hidup sebagai anak tunggal Jodhi tidak menjadikannya Cinderella atau Princess yang akan kebanjiran hadiah mahal atau keren. Jodhi tidak tahu apa-apa tentang dunia perempuan muda. Apalagi yang bernama Magali ini—sangat kebetulan—sama sekali berbeda dan tidak mau disamakan dengan perempuan-perempuan kebanyakan. Jadi, percuma saja kalaupun kadang Jodhi meminta saran dari teman-temannya yang punya anak gadis mengenai hadiah ulang tahun. Apa pun yang umumnya disukai anak perempuan, Magali tidak suka. Contoh sederhana saat Magali ulang tahun ke-10, Jodhi mendapat saran dari salah satu temannya yang kebetulan memiliki anak sebaya Magali. Saran terbaik menurut teman Jodhi itu, sepatu kets berwarna pink dengan aksen glitter, karena sedang tren. Saat Magali membuka kadonya, Jodhi nyaris menangis karena sang anak menatap dengan wajah mual.
“Kamu nggak suka?”
Magali cuma menggeleng sambil memasukkan kembali sepatu baru itu ke kotaknya.
“Jodhi nggak ngerti. Kata teman Jodhi, anakanak perempuan seumur kamu lagi suka banget sepatu kayak gini. Malah ini merek aslinya yang susah didapat, lho!” kata Jodhi terheran-heran.
“Aku nggak suka pakai barang yang sama dengan hampir semua anak perempuan di sekolahku, Jodhi!”
“Tapi kamu nggak pengin punya barang yang lagi disukai anak-anak seumuran kamu? Kan keren, apalagi ini asli!” Jodhi tidak menyerah.
“Mending Jodhi beliin aku sandal jepit hijau toska atau ungu muda, pokoknya yang warnanya jarang ada, aku pasti pakai! Aku nggak mau sama dengan semua teman di sekolahku. Nggak istimewa. Kata Nene, setiap perempuan itu istimewa, jadi jangan suka latah!”
Oh, jadi Nene! Jodhi menggeram dalam hati lalu menelan ludah pasrah. Tidak mungkin rasanya menyalahkan Nene dalam hal ini. Nene adalah satu-satunya perempuan dewasa dalam hidup Magali. Tidak ada alasan untuk mengatakan Nene salah mendidik Magali, sebab Jodhi tidak menikah lagi dan memberikan ibu baru untuk putrinya. Bagi Jodhi sekarang atau kapan pun bukan saat yang tepat membagi perhatiannya dengan satu perempuan lagi. Dengan dua perempuan saja— Magali dan Nene—Jodhi sudah nyaris tak punya sisa waktu lagi. Apalagi pekerjaan Jodhi memang tidak lazim. “Kayaknya tahun ini Jodhi akan coba cari sesuatu yang benar-benar kamu suka. Jodhi masih penasaran, gimana sih, bikin, kamu senang? Hahahaha ....” Jodhi tergelak di seberang sana, dari tengah-tengah lautan luas yang dia sendiri tidak bisa menunjukkannya di peta dunia.
“What? Dua puluh empat tahun jadi ayahku dan Jodhi masih tidak tahu?”
“Bukan salah Jodhi sepenuhnya! Kamu sendiri bukan anak yang gampang dibuat senang. So, wajar aja, kan, Jodhi kesulitan?”
“Paling gampang kalau Jodhi ada di sini setiap aku ulang tahun. Sepertinya tinggal satu hal itu yang belum pernah Jodhi kasih ke aku selama ini,” kata Magali dengan suara pelan.
Terdengar desahan napas berat dari gagang telepon di tangan Magali. Seketika dia menyesal. Kadang sifat blakblakan itu membuat Magali berada dalam posisi sulit dan merasa bersalah. Damn!
“Bukan, bukan .... Aku nggak maksud bikin Jodhi susah! Bener, deh! Udahlah, jangan dimasukkin ke hati, kayak nggak tahu aku aja! Santai aja, Jod! Aku juga tahu kok, orang-orang yang kerjanya di kapal pesiar kayak Jodhi itu paling nggak mungkin libur di bulan Desember. Saat musim liburan sedang rame-ramenya.” Magali berusaha mengembalikan suasana hati Jodhi seperti semula. Semata agar dirinya juga bisa merasa tenang. Anak macam apa yang membuat susah hati ayahnya padahal dia tahu sang ayah sedang banting tulang demi dirinya?