Macaroon Love

Mizan Publishing
Chapter #3

Bab 3

Pagi itu Magali bersiap-siap untuk liputan. Kemarin siang Mbak Varaya menghubunginya untuk memberi tahu adanya restoran baru di bilangan Bintaro. Hampir tiap bulan selalu ada tempat makan baru bermunculan di daerah Bin-taro dan Kemang, mulai dari skala pinggir jalan sampai yang elit sekelas fine dining. Karena status Magali yang freelance, tidak tiap hari dia bekerja. Kadang dalam seminggu hanya satu hari dia pergi meliput, sisanya dipakai untuk baca-baca majalah di kamar kos sempitnya atau pergi keliling Jakarta mencari objek foto. Kadang kalau sedang kangen Nene dia akan pulang ke Bandung. Tapi karena pulang ke Bandung makan ongkos, Magali hanya melakukannya paling sering dua kali dalam sebulan.

Magali segera keluar menuju warnet di samping tempat kosnya untuk mencari info seputar restoran yang akan diliput hari itu. Gaharu Resto, namanya. Tampaknya pemilik restoran ini punya modal yang besar. Lokasinya yang strategis di daerah pertokoan seputar Bintaro selalu ramai. Belum lagi jenismakanan yang dijual; international food. Sayang sekali website mereka belum terlalu lengkap. Baru ada beberapa foto, daftar menu andalan, dan alamat serta nomor telepon yang bisa dihubungi. Khas website baru, masih belum tertata dengan rapi.

Magali pernah menemukan website restoran yang sangat menarik. Foto bertaburan, mulai dari foto restoran, staf, para selebritas yang pernah makan di sana sampai testimoni beberapa tamu mengenai menu dan pelayanan. Kalau sudah menemukan website seperti itu, kadang Magali tergoda untuk tidak datang meliput. Untuk apa? Semua bahan tulisan yang dibutuhkannya sudah ada, tinggal diambil, diolah, dan dikirim dalam bentuk artikel. Dengan begitu dia tidak perlu datang dan makan di sana. Dan pada akhirnya, Magali tidak perlu berbohong mengenai hidangan yang disajikan di sana.

Tapi seperti ada radar di kepala sepupunya, setiap kali dia mendapat tugas liputan, Beau menelepon Magali. Malah, Beau selalu menelepon Magali setiap minggu untuk menanyakan tujuan liputannya minggu ini. Sudah bisa ditebak, kalau nama restoran yang akan diliputnya terdengar keren, Beau akan sampai di depan pintu kamar kos Magali lengkap dengan senyum lebarnya. Menyebalkan tapi lucu sebenarnya.

Sejujurnya, bagi Magali, Beau alasan terkuatnya untuk tetap datang meliput walaupun dia se-ring merasa terpaksa. Beau satu-satunya saudara yang dikenalnya seumur hidup. Menyenangkan hatinya adalah salah satu cara Magali menghargai persaudaraan mereka. Lagi pula, kasihan juga sebenarnya Beau itu. Dia masih saja menganggur selepas kuliah di Bandung. Sampai saat ini dia masih kerja serabutan di tempat usaha temantemannya di sekitar kampus. Kadang Beau membantu di warnet temannya. Sesekali dia membantu percetakan di dekat rumah Nene. Lain waktu dia menerima tawaran pemotretan untuk kalender perusahaan. Apa pun, selama itu halal, Beau akan melakukannya. Nene jelas tidak bisa menyokong hidup cucu satu ini. Uang pensiun suaminya hanya cukup untuk biaya sehari-hari. Satu-satunya sokongan berarti yang mereka dapatkan adalah dari Jodhi yang rutin mengirim uang setiap bulan.

Tapi Nene tidak mau gegabah menggunakannya. Sebisa mungkin ditabungnya karena dia tahu Jodhi di sana tidak pernah menyisihkan uangnya. Jodhi rutin mengirim hampir seluruh gajinya ke Nene untuk diatur sedemikian rupa.

Nada dering yang nyaring terdengar. Hand-phone Magali berbunyi. Ternyata Beau, seperti yang sudah diduganya. Hanya kali ini firasatnya agak terlambat. Biasanya sehari atau dua hari sebelum Magali ada liputan, dia menelepon.

“Halo!”

“Galiiii!!! Liputan ke mana?”

Nah, Benar, kan! Si Beau.

“Udah mau jalan. Percuma lo nanya sekarang!” jawab Magali datar dan ketus.

“Ke manaaa?”

“Gaharu Resto, Bintaro.”

“Ikuuuut! Itu kan, restoran kereeen! Kok jahat sih, nggak ngasih tahu?” Beau terdengar kesal.

“Yeee, biasanya kan, lo yang nelepon gue!”

“Tungguin, dong! Gue naik travel, deh biar cepet! Tapi bayarin, ya?”

Magali mendengus. Ini baru tanggal 3 dan Beau sudah bokek. Kebiasaan.

“Nggak bakalan sempet, Beau! Ini gue udah mau jalan!” jawab Magali.

“Hmm, sempet! Sempet! Lo ke sana aja sekarang. Lama-lamain aja liputan lo. Masak-masak dulu kek, di kitchen-nya, wawancara manajernya dulu, tamu-tamunya, pelayannya, makan belakangan. Gue naik travel langsung ke sana. Ya? Ya? Ya?”

“Hya ampun, Beau! Gue malas banget lama-lama di sana. Lo tahu sendiri, kaaan!”

“Magali, gue cuma mau kasih kesempatan buat lo supaya bisa menikmati pekerjaan! Lo harusnya sadar dan bersyukur kalau lo itu punya pekerjaan terkeren dan terenak sedunia. Nikmati, dong!”

Magali tertawa sinis mendengar alasan Beau itu. Mungkin untuk Beau pekerjaannya paling enak sedunia, hanya karena dia bisa makan-makan gratis di restoran-restoran keren setiap minggu. Tapi Beau sebenarnya juga tahu Magali justru paling tidak menikmati bagian makan-makan di sana dan menuliskan review. Beau paham benar kalau sepupunya memiliki selera yang agak berbeda dengan kebanyakan orang. Beda dengan Beau yang omnivora—pemakan segala—itu.

“Bawel! Lo berangkat aja, deh! Tapi gue nggak janji bisa nungguin lo, ya! Kalau ternyata gue udah keburu malas di sana, lo gue traktir makan di warung depan kos gue aja. OK?”

Lihat selengkapnya