Madah Penyusup

Wiwien Wintarto
Chapter #2

2. Deanna, Masih ABG

Java Supermall di bilangan Jalan MT Haryono masih sepi saat aku tiba pukul 11. Aku langsung masuk toko buku dan menaruh tas di tempat penitipan barang. Berada di sini serasa masuk rumah kedua. Sejak punya niat gede untuk jadi penulis novel tahun 2002 lalu, saat aku memulai kuliah di FISIP Komunikasi Undip, mempunyai buku yang dipajang di toko buku sebesar ini adalah puncak mimpi hidup tertinggi.

Karenanya ketika tahun 2007 aku berhasil menembus penerbit Matapena lewat novel Kenangan Kesunyian, toko buku pun seperti jadi rumah bagiku. Apalagi kalau keluar sambil membawa sebiji dua biji buku.

Kali ini aku tak ada rencana membeli buku. Hanya berkeliaran saja di seputar rak novel, menghabiskan waktu menunggu kedatangan Deanna. Seharusnya bisa sih beli, dan masih ada kembalian antara Rp 50 ribu hingga Rp 60 ribu. Tapi masa habis itu aku harus bilang ke dia bahwa traktirannya batal dengan alasan makanan di food court diduga diracun? Kan nggak lucu.

Aku tepat memutari rak-rak fiksi untuk kali kedua ketika mendadak muncul pesan dari Deanna,

Aku udah nyampe loh.

Spontan aku celingukan, mencari pengunjung toko buku yang bertampang pelajar SMA. Kuketikkan pesan balasan.

Di mana?

Jawab dari gadis itu datang nyaris tanpa jeda.

Aku udah liat kamu, pakai topi krem sama kaos ijo, ye kan? Coba tebak aku di mana!

Aku tertawa sendiri saat memberi pesan balasan. Siang hari Selasa yang panas ini aku memang memakai topi krem-cokelat bertuliskan “I Love Bali” dan kaos hijau manyala bekas seragam kerja Tinta dulu.

Jangan guyon! Kamu di mana?

Kepalaku berputar, nyaris 360 derajat. Bodoh sekali! Tentu saja aku tak akan pernah bisa menemukan yang mana Deanna di antara sekian gelintir pengunjung toko siang ini. Pasalnya aku memang belum yakin seperti apa tampangnya.

Sebagaimana lazimnya makhluk masa kini, aku mengenalnya di Facebook, dua bulan lalu. Belum pernah bertemu muka. Hanya sering berceloteh di kolom komentar. Dan yang aku lihat dari sosok seorang Deanna Kirana hanyalah sebatas foto-foto, itu pun buram dan jauh dari istilah jelas. Apalagi dia jarang memajang fotonya sendiri di bagian foto profil. Malah lebih sering ia memajang tampang-tampang manis para artis K-pop.

Maka bisa dibilang, aku sebenarnya tak tahu tampangnya seperti apa. Sekalipun saat ini aku tahu posisinya di mana, aku juga belum bakalan langsung pasti mengenali bahwa memang itulah yang bernama Deanna Kirana.

“Hai!”

Aku menoleh, membalik secepat kilat. Di depanku, seorang gadis belia tertawa geli sambil menutupi mulutnya.

“Deanna?” tanyaku ragu.

Anak itu mengangguk sambil masih tetap tertawa, juga saat menyalamiku.

“Aku tadi ketawa lihat kamu celingak-celinguk,” ujarnya.

Kuamati sejenak dia. Tubuhnya kecil, sedikit gemuk, dengan kulit cokelat kehitaman. Dia memakai kaus lengan panjang bergaris hitam-putih vertikal, dipadu dengan celana jins dan sepatu kets warna putih. Rambutnya yang sedikit berombak dikucir rapi di bagian belakang, nampak manis sekali. Pipinya tembam. Menyenangkan untuk dilihat.

Dari biodata di Facebook, aku tahu umurnya 17 tahun. Ia lahir tahun 1997, dan saat ini tengah merampungkan tahun terakhir SMA-nya. Namun wajah yang lucu itu membuatnya terlihat jauh lebih muda. Dia seperti anak SMP.

Ia menerbitkan buku perdananya tahun 2012, sebuah novel fantasi remaja berjudul Vanguard Axe, tentang petualangan malaikat-malaikat. Kami jadi cepat akrab karena kesamaan itu. Apalagi kemudian dia dan aku sama-sama dimasukkan ke grup Matapena Authors di Facebook, yang beranggotakan para pengarang di penerbit Matapena.

Lihat selengkapnya