Madah Penyusup

Wiwien Wintarto
Chapter #3

3. Menjelang Valentine's Day

Fara Erani: Bang, mana katanya mau ke Sby bln Nopember??

Diva Danisa: Hehe... iya. Gak jadi.

Fara Erani: Kok gak jadi kenapa?

Diva Danisa: Lha aku nggak jadi diajak ke Sidoarjo.

Fara Erani: Diajak gmn sih? Cpa yg ajak?

Diva Danisa: Itu, temenku, Mas Rangga Dirga. Tau kan?

Fara Erani: Iya. Tau. Pernah liat bukunya di Gramed. Kok dia yg ajak?

Diva Danisa: Dia juga diajak temennya, ada kerjaan di Sidoarjo. Tp pas berangkat, kyknya tergesa atau gimana, aku gak jadi diajak.

Fara Erani: Sbel. Sukanya bikin bete aq! L

Diva Danisa: Hehe... ya maap. Ntar deh diganti lain hari.

Fara Erani: Tp kapan? Ganti-ganti trus. Sukanya mbujuki!

Diva Danisa: Mbujuki? Aku nggak membujuk siapa-siapa.

Fara Erani: Bukaaaan. Mbujuki itu boso sini, artinya bohong.

Diva Danisa: Oh itu ya artinya? Wkwk... ya kan gak bohong juga. Dipaksa keadaan. Kalo ada waktu, pasti aku ke Sby. Pengin juga dolan ke situ. Blm pernah soalnya. Biasanya cuman lewat tok, kalo pas jalan ke Bali.

Fara Erani: Beneran lo ya. Awas kalo boong lagi!

Diva Danisa: Iya. Ntar kukabari. Mgkn habis new year bisa.

Fara Erani: Oke. Aku pergi dulu ya, mau ke masjid, ngaji sama kakakku.

Diva Danisa: Oke. See u later...

Begitu Fara menghilang dari kotak percakapan inbox di Facebook, aku bisa mengalihkan perhatian kembali ke naskah cerpen yang sedang kuedit. Baru saja akan mulai membaca cerita milik Mega yang berjudul Dark Valentine ketika tahu-tahu Fara online dan mengajakku ngobrol. Dan seperti sudah kuduga, dia protes soal ketidakdatanganku ke Surabaya pertengahan November lalu.

Seperti dengan Deanna, aku kenal Fara juga lewat Facebook. Bahkan periodenya hampir bersamaan. Umur mereka pun sebaya, sama-sama kelahiran tahun 1997. Beda di bulannya saja. Dea September, Fara Juni.

Dengan Fara, kedekatan juga gampang sekali terbentuk. Agak aneh memang. Padahal dia, dan Dea pula, terpaut jauh sekali dalam soal usia denganku. Gap-nya selebar 13 tahun. Setara paman dengan keponakan. Entah kenapa, mereka malah berperan selayaknya teman main denganku. Bahkan kawan sebaya. Beda yang satu dekade lebih itu seperti sama sekali tak nampak dan terasa.

Memang sejak kerja di Abege, yang berbarengan dengan momen wisuda sarjanaku tahun 2008 lalu, aku harus bergaul dengan anak-anak remaja. Dan sejak itu, tak susah bagiku untuk masuk dunia remaja dan berteman dengan mereka, hingga mereka sudah tak lagi berstatus remaja ABG.

Kembali ke soal cerpen, malah bukan naskah yang terpikir, melainkan acara launching. Karena proyek ini nanti akan jadi kolaborasi banyak nama top di Matapena, momen penerbitannya harus dimeriahkan dengan acara peluncuran yang high profile. Dan Tania spontan setuju saat aku mengusulkan ini. Kebetulan untuk tahun mendatang ini nanti, tanggal keramat 14 Februari tepat jatuh pada hari Sabtu.

Namun sebenarnya bukan faktor acaranya itu sendiri yang paling membuatku bersemangat, melainkan Dea. Sepertinya usul soal acara launching hanya sekadar alasan agar aku bisa bepergian dengannya sejauh Ibukota.

Sejak pertemuan siang dulu itu Java Mall, otakku geser gara-gara dia. Sudah kukatakan pada diriku sendiri agar jangan jatuh hati pada anak kecil, tapi hatiku ngeyel. Masih jadi pertanyaan, apa sebenarnya yang istimewa darinya secara fisik? Dia tak semanyala Rena-ku dulu. Bahkan jauh dari kesan modis dan trendi selayaknya remaja.

Pertanyaanku berhenti oleh kalimat bijak yang bilang bahwa seringkali cinta tak butuh alasan. Ada ya karena ada saja. Barangkali memang ada sesuatu, tapi itu mungkin tersembunyi jauh di balik hal-hal yang bersifat permukaan.

Maka kemudian aku memilih untuk lebih menikmatinya saja, daripada ribut memikirkan landasan pemikiran dan kerangka teori segala macam. Apalagi buru-buru bergerak untuk mendekati dan secepat mungkin menjadikannya pacar. Satu, itu seperti terlalu receh untuk urusan dengannya. Dan dua, apa kata malaikat penjaga Neraka kalau aku, sekali lagi, mengencani anak SMA?

Lalu baru aku sadar telah membuang 20 menit membaca-baca cerpen Mega namun otak terjerat ke arah Dea. Sial! Terpaksa harus baca ulang lagi dari awal. Kulihat jam di ponsel, tepat pukul 19.30. Memang sudah saatnya mengisi perut. Aku bangkit meninggalkan meja kerja di kamar untuk menuju meja makan. Harusnya sudah tersaji hidangan makan malam di sana, seperti biasa.

Di ruang tengah, semua penghuni rumah sedang berkumpul. Ibu sedang sibuk mengisi TTS di buku khusus TTS. Vera dan kedua anaknya, Alfa serta Nita, nonton kontes menyanyi di TV. Vera adik iparku, istri dari Odi, anak kedua Ibu dan almarhum Bapak setelah aku. Odi jarang di rumah karena tempat bekerjanya jauh sekali di Malang. Ia pulang hanya tiap akhir pekan.

Sedang Bapak tentu sudah tak ada lagi setelah meninggal karena serangan jantung tahun 2012 lalu. Sejak Bapak pergi, aku jadi lebih sering pulang ke Jogja, karena dua adikku lain ada di luar kota. Ardan di Jakarta, sudah berkeluarga. Sedang Anna si bungsu masih setia jadi wartawan di Semarang.

Dengan dua adikku semua sudah sama-sama membina rumah tangga, otomatis aku sering sekali terkena pertanyaan “Kamu kapan?” di acara-acara keluarga.

Lalu ponselku berbunyi. Ada panggilan masuk. Cepat sekali aku berlari balik lagi ke kamar. Ah, buset—bukan Dea! Yang muncul malah satu nomor tak dikenal.

Aku menerimanya dengan cepat.

“Halo?” sapaku agak waspada.

“Ini betul dengan Mas Diva Danisa?” terdengar suara lembut seorang perempuan dari seberang.

“Benar. Ini dengan siapa?”

“Maaf menelepon malam-malam begini. Saya dapat nomor Mas dari Pak Hartanto.”

Hartanto. Aku ingat sekali nama itu. Kami bertemu bulan April lalu dalam sebuah acara di The Majestic, Jalan Gajahmada. Dia tak lain adalah direktur yayasan pendidikan yang menaungi sekolah-sekolah Yayasan Askarabangsa. Getol sekali ia mengajakku berbisnis kala itu. Aku sambut dengan penuh semangat. Kupikir akan dia suruh mengajar menulis murid-murid sekolahnya. Ternyata diprospek untuk masuk bisnis MLM!

“Oh, iya. Pak Hartanto dari Askarabangsa ya?”

“Iya. Saya sendiri Yuni. Masih ingat saya ndak?”

“Yuni?” alisku berkerut mendengar intonasi dia mendadak berubah akrab. “Yuni siapa?”

“Murid magang Mas dulu, pas jaman di Abege. Saya dari Unnes, bareng Budi Gollum dan Titania. Saya nggak di bawah Mas Diva sih, tapi Mas Roman.”

“Oalah, Yuni dari Unnes...” spontan aku tertawa. “Ingat dong. Sekarang kerja di Askarabangsa?”

Lihat selengkapnya