Kota Berombang 2002
Zubaidah duduk merenung di tangkahan, memandangi istri nelayan menyusun ikan yang di jemur sejak siang. Senja sudah mulai datang mewarnai langit dengan rona jingga yang khas membuat hanyut hati siapa pun yang melihat.
Seorang gadis berusia sekitar tiga puluhan, berdiri di samping Zubaidah. Rani namanya. Sudah sejak dua jam lalu dengan setia menemani Zubaidah menikmati keindahan laut sore. Sesuai pesan maknya sejak dulu semasa ia masih kecil, “awasi Nenek, jangan sampai dia melompat ke laut.”
Pesan itu juga yang ia pegang sampai saat ini, Rani selalu mengawasi Zubaidah tatkala menghabiskan sore di pelabuhan.
Usia Zubaidah kini menginjak angka tujuh puluh tahun. Namun, kerutan di wajahnya tidak bisa menyembunyikan kecantikannya. Senyumnya masih terkembang sama hangat dengan senyum remaja yang tengah di mabuk cinta. Cahaya matanya masih berbinar kala menatap kilau air laut. Memandang laut yang tanpa gelombang. Tenang, setenang hatinya kini.
“Nek, kita pulang sekarang?” setengah berbisik, Rani mengajak Zubaidah untuk pulang. Rani membungkuk dengan bibir yang sedikit menempel ke telinga Zubaidah.
“Orang dari laut belum pulang. Aku menunggu Hasan,” jawab Zubaidah seraya tatapannya terpaku ke arah laut.
“Mungkin Hasan pulang terlambat, sebentar lagi Magrib. Marilah kita pulang sekarang, Nek. Mak pasti khawatir,” ajak Rani lembut.
“Kau tak berubah Noor. Selalu takut dengan mak kau. Berulang kali kuajari cara agar kau bisa bersilat lidah di hadapannya, tapi kau tak pernah bisa.” Zubaidah menggeleng pelan lalu beranjak bangkit dari duduknya. Dengan sigap Rani memegang lengan Zubaidah. Takut wanita tua itu tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya karena terlalu lama duduk.
Walau menggerutu dengan kalimat yang tidak jelas terdengar oleh Rani, Zubaidah tetap patuh saat Rani mengajaknya pulang.
Rani sudah biasa mendengar neneknya menyebut namanya dengan panggilan Noor. Sepertinya, ingatan neneknya berhenti di masa-masa tertentu dalam hidupnya. Adakalanya Zubaidah ingat kalau ia sudah berumur. Ada pula masanya ia menyebut orang-orang di rumahnya dengan nama-nama yang asing bagi mereka.
Mereka akhirnya berjalan bersisian, menuju rumah meninggalkan ¹tangkahan yang semakin disinari cahaya jingga kemerahan. Rani memegang lengan Zubaidah membiarkannya meracau di sepanjang jalan. Cerita yang sama, berulang kali keluar dari bibir Zubaidah yang tidak lagi berwarna merah.
Rani bahkan sudah hafal seluruh kisah hidup Zubaidah. Tentang Noor, Hasan dan Kamal. Nama-nama yang sering ia sebut berulang sepanjang sejarah Rani mengurus neneknya.