Madah di Balik Tabir

ANINZIAH
Chapter #2

Bab. 2

Sei-Sanggul, 1967

 Seorang gadis berjalan cepat menuju rumah panggung di pinggir sungai. Tangannya menenteng dua buah kelapa yang sudah di kupas sebagian kulitnya. Sesekali, ia menyibak poni yang mulai panjang menutup penglihatannya. Petang lalu, sahabatnya meminta ia untuk datang. Katanya, ada tamu dari kota yang akan mereka jamu malam ini.

 Zubaidah merasa bersemangat. Apalagi ketika Emak Noor memercayakan ia untuk membuat anyang, masakan khas daerah mereka yang akan menjadi jamuan utama untuk tetamu dari kota nanti malam. 

“Bedah pandai membuat anyang. Asam, asin, dan pedasnya selalu pas.” Begitu kata Noor memuji sahabatnya.

 “Tentulah si Bedah sangat ahli. Mak dia sering dipanggil menjadi juru masak kalau ada hajatan,” ucap Emak Noor membuat Zubaidah kembang kempis hidungnya menahan rasa berbangga diri. Tak ayal, ketika Noor memintanya untuk datang, dengan rasa percaya diri yang tinggi, Zubaidah menyanggupi. 

“Ikan terubuk ini dibawa Ayah dari Labuhan Bilik. Sengaja dipesannya untuk tamu kami,” adu Noor sembari menenteng satu ikan yang cukup besar. Noor menggoyang-goyangkan tubuh ikan itu ke wajah Zubaidah. 

“Aih, Noor, kalau ikan macam begitu, biar aku tak punya Ayah, pun sering aku makan. Hasan kalau pulang dari melaut pastilah dibawakan aku seekor.” Zubaidah tidak mau kalah. Ucapannya mampu membuat Noor terdiam sesaat.

“Iyalah, apa yang tak diberikan Hasan untukmu?” ucap Noor sembari tersenyum kecut.

 Zubaidah dan Noor sama dekat dalam hal berkawan dengan Hasan. Sejak masih kecil, mereka bertiga selalu bersama-sama. Hanya saja, Hasan yang rumahnya lebih dekat dengan Zubaidah, membuat kedua muda-mudi itu menjadi lebih rapat berkawan.

Sekilas pandang, orang-orang pasti menduga kalau Hasan dan Zubaidah adalah Abang dan Adik. Namun, kenyataanya mereka hanya bertetangga dengan jarak beberapa rumah saja. Kepedulian Hasan kepada Zubaidah pun, bukan hanya karena merasa iba, Hasan menyayangi Zubaidah sepenuh hati. Apalagi melihat Zubaidah yang sejak bayi hanya diasuh oleh seorang Ibu berstatus janda nelayan yang miskin, bertambah besar kasih sayang Hasan kepada Zubaidah.

 Tidak ingin berdebat pasal ikan, Noor mengalihkan pembicaraan. Lagipula, bukan ikan pemberian Hasan yang membuat Noor terdiam. Di dalam hati Noor sendiri, sekelebat cemburu tengah bersarang melihat kedekatan Hasan dan Zubaidah selama ini. Hanya saja, karena ikrar persahabatan, Noor berusaha sebisanya menyembunyikan perasaannya di hadapan Zubaidah. Boleh jadi untuk segala hal ia berbagi dengan Zubaidah. Urusan hati, Noor lebih memilah untuk menyimpan rasa sendiri. Ia takut Zubaidah akan tahu kalau ia telah lama menyukai Hasan secara diam-diam.

 Lain Noor lain pula Zubaidah. Kalau Noor lebih memilih untuk diam, maka Zubaidah telah terang-terangan menceritakan perasaannya kepada Noor. Ia percaya jika Noor akan mendukungnya. Hasan adalah cinta pertamanya. Ia sudah mengatakan itu kepada Noor sejak lama.

“Baguslah, tu. Kau dan Hasan sudah saling mengenal sejak kecil, kalian berdua sudah bagai lepat dengan daun. Apalagi, Hasan tampan kau cantik. Dah, tak ada masalah tinggal kau tunggu saja si Hasan melamarmu nanti,” ucap Noor berpura-pura turut bersuka cita atas isi hati sahabatnya. Padahal setelah Zubaidah mengungkapkan isi hatinya, Noor sendiri harus menangis di malam hari merasa tidak rela jika Hasan akan bersama Zubaidah kelak.

 “Hei, mau sampai bila kalian sibuk bercakap di dapur ini? sebentar lagi tamu kita sampai. Ikan belum disiangi, 1awas belum dibuat. Apa kita tunggu tamu itu nanti yang masuk ke dapur ini baru kalian kerjakan anyang itu?” tiba-tiba, Emak Noor sudah berada di antara mereka. Sembari tertawa cekikikan karena ditegur, lekas Noor dan Zubaidah memulai pekerjaan.

Lihat selengkapnya