Minggu pertama bulan Thout tahun ini terasa berbeda bagi Maria. Kejadian beberapa waktu lalu di bulan pertama dari tiga belas bulan dalam kalender Koptik itu membuat ia bingung sejadi-jadinya. Hati Maria mendadak gamang, entah apa penyebabnya. Mungkin karena kelelahan usai mengadakan perayaan Nayrouz, tiba-tiba gadis yang lahir di desa Hebenu, sebuah desa di daerah dataran tinggi Mesir, dekat Antinou, sebelah timur Peiero itu mendapatkan mimpi yang tak biasa. Sejak beberapa hari sebelumnya, Maria sudah sibuk menyiapkan perayaan tahunan yang jatuh di hari pertama bulan Thout yang menandai awal kalender Koptik. Pagi-pagi sekali Maria dan sejumlah orang dari istana berkumpul di Biara Kanopos. Di antara biara-biara lainnya, biara tersebut tidak dihancurkan orang-orang Persia yang sebelumnya menjajah Mesir.
Perayaan yang di pimpin oleh Anba Benyamin selaku pemimpin tertinggi agama Koptik itu diadakan secara diam-diam, penuh waspada. Bahaya akan mengintai bagi siapa saja yang menganut ajaran di luar kepercayaan Kekaisaran Romawi Timur. Meski demikian, mereka tetap bisa merayakannya dengan suka cita. Madah-madah untuk menghormati para martir dalam Gereja Orthodox Koptik dilantunkan dengan nada gembira dalam Misa.
“Jangan-jangan itu Gabriel?” tebak Shirin dengan bahasa Koptik saat Maria menceritakan tentang mimpinya tatkala mereka berjalan pulang usai beribadah di Biara Kanopos.
Maria bergeming. Shirin, sang adik, melanjutkan ucapannya sambil merapikan kurma merah di wadah berupa keranjang kayu kecil yang dia letakkan di atas pangkuannya. Maria mengambil sebutir kurma berukuran sedang. Bibir merahnya tersenyum merekah. Dengan cara berwibawa penuh tata krama, Maria memasukkan kurma itu ke mulut lalu mengunyahnya.
“Seperti Gabriel mendatangi Perawan Maria dengan membawa kabar gembira. Kau ingatkan kisah itu?”
Kedua putri Simon, seorang lelaki suku Koptik itu saling berpandangan. Shirin tersenyum lebar. Maria membalas senyum sang adik sembari mengangguk pelan.
“Entah siapa dia? Aku belum pernah melihat lelaki itu sebelumnya. Dari semua laki-laki di seantero Mesir yang pernah kulihat, tak ada yang memiliki wajah sesempurna dia. Dari semua pengawal Megaukes dan utusan para raja dari negeri lain, tak ada lelaki segagah dia.”
Pada malam pesta yang diperingati pada awal tahun menurut kalender koptik itu, dia sempat bertemu dan melihat beberapa lelaki berwajah tampan. Tidak sedikit pula dari mereka yang terpesona melihat kecantikan Maria.
“Nofri Rompi Mberi,” ucap Shinouti, lelaki Koptik gagah, salah satu matoi, pengawal kepercayaan Megaukes. Wajahnya yang rupawan tak lantas membuat Maria kegirangan atas sapaannya. Maria hanya membalasnya dengan tersenyum, menundukkan pandangan, lalu berjalan menjauh berkumpul bersama para pelayan wanita lainnya. Melihat reaksi dingin Maria kepada Shinouti, membuat Barirah yang berdiri tak jauh di belakangnya hanya bisa menahan tawa. Barirah, salah satu pelayan wanita berkulit gelap, tahu jika kakak sepupunya itu sangat menaruh perhatian kepada Maria.
“Nofri Rompi Mberi,” ucap Barirah memberi ucapan selamat tahun baru yang berarti Tahun Baru yang Baik, seraya melintas di hadapan Shinouti lalu bergabung dengan Maria dan pelayan wanita lainnya.
Shinouti salah tingkah. Dia tahu, Barirah bermaksud meledeknya. Dengan gagah dan penuh wibawa, Shinouti berjalan meninggalkan tempatnya. Baru beberapa langkah, dia berhenti kemudian membalikkan badan dan melihat ke arah para pelayan wanita. Terkejut. Mata Shinouti bersitatap dengan dua mata di hadapannya. Sayangnya bukan mata jelita sang gadis idaman, melainkan Barirah menangkap tatapan Shinouti yang membuat dirinya malu lalu mempercepat langkah.
Sementara, Potamiana, salah satu pelayan wanita di istana tampak memperhatikan Shinouti sedari tadi. Matanya tak lepas dari gerak gerik lelaki yang selama ini dia kagumi. Tak bisa dipungkiri, sikap perhatian Shinouti kepada Maria, membuat hatinya kecewa.
“Ada apa denganmu, Potamiana?” tanya Barirah pura-pura tidak tahu dengan perasaan sahabatnya yang masih memiliki hubungan kerabat dengan Megaukes.
“A-a ... hmm … tidak, tidak ada apa-apa?” jawab Potamiana, gadis berdarah campuran Koptik Romawi itu gelagapan.